the-last-geishas-re-creation-menyibak-realitas-di-balik-imaji
okumentasi pementasan ‘The Last Geishas: Re-Creation’ yang akan berlangsung di Teater Salihara, Jakarta, akhir pekan ini. | Dok. Igaki Photo Studio & Toyooka Theatre Festival
Art & Culture
The Last Geishas, Re-Creation: Menyibak Realitas di Balik Imaji
Devy Lubis
Thu, 13 Nov 2025

Di balik citra gemerlap yang sering melekat pada sosok geisha—kimono sutra, gerak anggun, dan misteri yang membalut—tersembunyi dunia yang perlahan memudar. Dunia yang dihidupi oleh disiplin, kesenian, dan kerahasiaan.

Melalui pementasan ‘The Last Geishas: Re-Creation’, sutradara sekaligus sineas Shingo Ōta dan aktris Kyoko Takenaka dari Jepang mencoba menelusuri kembali lapisan-lapisan realitas di balik sosok yang kerap disalahpahami ini. Pertunjukan akan digelar di Teater Salihara pada 15-16 November 2025.


Karya ini berangkat dari keingintahuan tentang siapa sebenarnya geisha hari ini? Apakah mereka sekadar daya tarik wisata yang dikemas dalam nostalgia masa lalu, atau seniman tradisional yang masih menjaga warisan budaya Jepang berusia ratusan tahun?

Untuk menjawabnya, Ōta dan Takenaka melakukan riset mendalam. Mereka menghadiri kelas pelatihan, mempelajari tari dan musik tradisional, mengenakan kimono, bahkan ikut tampil dalam jamuan khas geisha. Dari pengalaman langsung itu, keduanya berupaya memahami dunia geisha bukan sebagai pengamat luar, melainkan sebagai bagian dari prosesnya.

Hasil eksplorasi tersebut mereka wujudkan di panggung melalui perpaduan gerak, teks, dan video, menghadirkan bentuk teater dokumenter kontemporer yang menggabungkan riset, refleksi, dan interpretasi artistik.

Antara Tradisi dan Tafsir Modern

‘The Last Geishas: Re-Creation’ menjadi ruang pertemuan antara tradisi dan representasi kekinian. Ia bergerak di antara rekonstruksi yang setia dan eksplorasi yang bebas, menghadirkan bentuk pertunjukan hibrida yang melintasi batas antara dokumentasi dan seni peran.

Bagi Ōta, proyek ini bermula dari kisah seorang mantan maiko—geisha magang—yang menuturkan kerasnya kehidupan di dunia tersebut. Pengakuan itu membawanya bertemu dengan Hidemi, yang dikenal sebagai geisha terakhir di daerah Kinosaki. 

Dari sanalah ia memutuskan untuk menyelami kehidupan geisha secara langsung, menjadikan tubuhnya sebagai medium dokumentasi dan perenungan. “Keindahan tidak terletak pada bentuk, model, atau profesinya,” tulis Ōta dalam catatan prosesnya. “Keindahan hidup ada pada cara manusia menjalaninya.”

Karya ini diproduksi oleh Hydroblast, kolektif seni yang didirikan pada 2019 oleh Shingo Ōta. Sejak 2022, Kyoko Takenaka bergabung sebagai produser. Dengan pendekatan dokumenter yang lentur, Hydroblast menciptakan karya lintas medium—film dan teater—yang selalu berangkat dari pengalaman nyata dan sudut pandang personal.

Beberapa karya penting mereka meliputi ‘Watashitachi ni yurusareta tokubetsu na jikan’ dan ‘Fragile’ (keduanya disutradarai oleh Ōta), serta ‘Care and Acting’.

Pengalaman Lintas Budaya di Teater Salihara

‘The Last Geishas: Re-Creation’ siap menghibur pecinta seni akhir pekan ini di Teater Salihara, Jakarta. Pertunjukan dijadwalkan berlangsung dua sesi pada Sabtu 15 November (pukul 3 sore dan 8 malam) dan satu sesi pada hari Minggu 16 November (pukul 3 sore).

Berdurasi sekitar 70 menit, pementasan teater ini ditujukan untuk penonton berusia 13 tahun ke atas dan akan dipentaskan dalam bahasa Jepang dengan terjemahan teks berbahasa Indonesia. Tiket dapat diperoleh melalui tiket.salihara.org dengan harga Rp75.000 (pelajar/mahasiswa S1) dan Rp150.000 (umum).

Bagi pecinta seni pertunjukan, ‘The Last Geishas: Re-Creation’ menawarkan pengalaman lintas budaya—sebuah perjalanan untuk memahami kembali makna tradisi, tubuh, dan keindahan dalam kehidupan yang terus berubah.(*)



Share
hari Pahmawan
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru