Angin yang dingin dan terasa segar segera mengusap wajah begitu saya membuka kaca mobil angkot kuning yang saya naiki dari pertigaan Jalan Raya Puncak tadi.
Jalanan sedikit menanjak, dengan kanan-kiri dipenuhi pot-pot bunga.Kalau taman surga terlalu sulit untuk dibayangkan dengan akal pikiran, tenang, di sini ada serpihannya. Angin yang dingin dan terasa segar segera mengusap wajah begitu saya membuka kaca mobil angkot kuning yang saya naiki dari pertigaan Jalan Raya Puncak tadi. Jalanan sedikit menanjak, dengan kanan-kiri dipenuhi pot-pot bunga aneka warna. Tak lama kemudian, di kejauhan sana menyembul puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang membiru berselimut kabut. Ini momen yang selalu saya suka dari jalan ini, jalan menuju Kebun Raya Cibodas (KRC).
Suasana baru kelihatan agak ramai setelah melewati pintu gerbang masuk kawasan wisata Cibodas. Maklum, tak jauh di depan KRC ada bumi perkemahan Mandalawangi dan Mandala Kitri. Hampir di setiap akhir pekan keduanya digunakan untuk kamping anak-anak sekolah. Bus-bus yang membawa anak sekolah itu parkir di tanah lapang yang juga menjadi tempat penduduk lokal membuka warung-warung kopi atau menggelar dagangannya. Wortel, kubis, buncis, lobak, kol, nanas, jagung, manggis, hingga kelinci, mereka jual di sini. Kalau maju lurus, saya akan menemui kantor pengelola Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, tempat anak-anak muda yang akan mendaki kedua gunung ini mendaftar dulu di sini. Tapi saya membelok ke kiri, tak sabar untuk segera masuk ke KRC dan menuju Kolam Besar, spot favorit saya untuk memotret, yang letaknya agak di tengah.
Kolam besar, spot yang istagramable kapan pun memotretnya. FOTO : TEGUH SUDARIMAN
KRC yang aslinya bernama Bergtuin te Tjibodas (Kebun Pegunungan Cibodas) didirikan 11 April 1852 oleh Johannes Ellias Teijsmann, seorang kurator Kebun Raya Bogor. Tujuannya, waktu itu, adalah sebagai tempat aklimatisasi bagi tumbuh-tumbuhan dari luar negeri yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya pohon kina, dan pohon-pohon langka dari berbagai negara. Sejak 2003 status KRC menjadi Unit Pelaksana Teknis di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kini, KRC masih menjadi tempat koleksi ribuan tumbuhan dan sarana penelitian. Juga, menjadi tempat wisata yang cantik, surga bagi orang yang suka menyepi, menyenangi udara sejuk dan segar, menyukai dunia tumbuhan, maupun hobi fotografi atau melukis. Tiket masuknya murah, hanya Rp 16.500 per orang.
Sebelum bumi perkemahan dipisah pengelolaannya, luas KRC ini 125 hektar. Kini, meski tinggal 87 hektar, masih terlalu luas untuk bisa dijelajahi semua dalam sehari, apalagi dengan berjalan kaki. Memakai sepeda bisa, namun karena kontur tanah di sini naik turun di ketinggian 1.300-1.425 meter di atas permukaan laut, bersepeda hanya cocok untuk mereka yang sudah berpengalaman. Alternatif lain adalah memakai mobil atau sepeda motor, yang bisa masuk ke dalam kebun raya dan diparkir di lokasi yang disediakan.
Sakura Himala
Mengikuti alur rute menuju Kolam Besar, saya menapaki jalan yang menurun dan sampai di Taman Rhododendron di sisi kanan, yang berisi tanaman semak yang berdaun oval hijau tua dan berbunga ungu, merah, atau oranye. Sementara di kiri saya, terpisah oleh jalan yang tergenang air dari aliran Curug Cibogo, adalah Taman Sakura. Ya, bunga sakura, bunga khas Jepang. Cuma yang di KRC ini adalah Sakura Himalaya (Prunus cerasoides), ‘kerabat’ Sakura Jepang (Prunus serrulata). Namun tipikal bunganya hampir sama, putih bersemu pink. Dua pohon sakura yang besar juga ada di belakang kantor LIPI, di dekat pintu masuk KRC tadi. Bunga ini mekar bulan Maret dan September, tapi tanggalnya tidak tentu, jadi mesti menelepon ke KRC dulu untuk tahu apakah sakura ini sudah mekar atau belum.
Setelah melewati jalan menaik di samping Curug Cibogo, saya melewati taman yang didominasi pohon-pohon tinggi Araucaria cunninghamii Aiton dari Australia yang kulit batang pohonnya berlapis-lapis dan mengelupas, dan pohon-pohon Libocedrus macrolepis Benth dari China. Diamater pohon terakhir ini sekitar satu meter dan bercabang di dekat permukaan tanah, sehingga susah dipeluk.
Melewati taman yang rimbun ini, jalan menurun, membelok, lalu menaik lagi hingga saya tiba di tempat parkir di depan Taman Lumut. Di depannya adalah lapangan rumput yang sangat luas, yang berakhir di Kolam Besar. Saya berlari menuruni lapangan rumput ini, tak sabar menuju ke sebuah bangku beton di ujung kolam. Di sinilah spot terbaik untuk memotret KRC dengan latar belakang Gunung Gede-Pangrango. Kalau ingin mendapatkan langit biru, memotretlah pagi-pagi begitu masuk KRC. Sebab cuaca di sini cepat berubah, bisa saja tiba-tiba mendung dan hujan. Tapi meskipun mendung, memotret atau melukis dari titik ini tetap menghasilkan gambar yang superb.
Saat hujan, yang biasanya disertai angin dingin, berteduh di kafe di tengah lapangan adalah pilihan terbaik. Menyeruput kopi atau makan nasi goreng sambil menikmati hujan dan kabut yang turun ke lapangan sudah pasti merupakan sebuah kemewahan tersendiri. Saat cuaca cerah, di lapangan rumput ini kita bisa melihat keluarga-keluarga menggelar tikar dan membuka bekal, dan anak-anak berlari-larian atau bermain bola di rumput. Memang, dengan lapangannya yang luas, pemandangan indah, dan berudara sejuk, KRC menjadi tempat yang asyik untuk piknik. Terlebih lagi, secara umum pengunjung kebun raya ini relatif sedikit, baik saat hari kerja maupun akhir pekan. Jadi seolah-olah hanya beberapa orang saja –termasuk saya– yang menjadi ‘pemiliknya’.
Di samping lapangan ini ada Araucaria Avenue, jalan berbatu yang kanan kirinya dipagari pohon Araucaria besar-besar, seperti yang saya jumpai di awal tadi. Cuma di sini jumlahnya lebih banyak. Kita bisa menyusuri jalan ini dengan naik kuda, yang bisa disewa Rp 30.000 untuk 15 menit. Di jalan ini pula terdapat musola, yang di belakangnya ada akses menuju Curug Ciismun. Air terjun ini bisa dicapai dengan berjalan kaki sekitar 10 menit.
Masih ada dua curug lain, yakni Curug Ciwalen dan Curug Cibeureum. Curug Ciwalen terletak di belakang kebun raya, masuk area Taman Nasional Gede-Pangrango. Untuk mencapai curug ini mesti melalui izin khusus dan juga melewati jembatan gantung sepanjang 210 meter, membentang di atas jurang sedalam 40 meter. Sedangkan Curug Cibeureum, yang terdiri dari tiga air terjun, terletak di jalur pendakian ke Gunung Gede-Pangrango. Menuju ke curug ini perlu treking sekitar 2 jam. Jalur trekingnya sudah bagus, berupa jalan berbatu. Namun tentu saja, tetap ngos-ngosan.
Lumut, Kaktus, dan Sukulen
Usai menikmati panorama Kolam Besar, saya mengunjungi Taman Lumut, yang juga bersebelahan dengan pohon Bunga Bangkai. Taman ini memiliki 216 jenis lumut dari berbagai tempat di Indonesia dan dunia. Tumbuhan kecil-kecil ini memiliki banyak sekali variasi bentuk dan juga warna. Berkunjung ke sini kita seperti layaknya Gulliver yang masuk ke negeri Liliput. Cuma, taman ini hanya buka saat hari kerja dan dikunci saat akhir pekan, dan juga tidak ada pemandu, jadi kita tidak bisa bertanya-tanya.
Di dekat Taman Lumut, tepat di belakang guesthouse, terdapat 7 rumah kaca yang mempunyai koleksi sekitar 287 jenis kaktus kecil, 250 jenis anggrek dari berbagai daerah di Indonesia, dan 169 koleksi tanaman sukulen (tanaman yang banyak mengandung air). Kaktusnya kecil-kecil, dan yang paling menarik perhatian adalah kaktus yang mirip bulu anjing pudel. Bentuknya menyerupai batang panjang lurus ke atas, tapi seluruh permukaannya berhias bulu-bulu abu-abu. Satu rumah kaca dibuka saat akhir pekan dan kita bisa membeli kaktus atau sukulen ini dengan harga mulai Rp 20.000.
Bermalam ala Pembesar Belanda
Kalau tidak selesai menjelajah Kebun Raya Cibodas dalam sehari –dan sudah pasti memang tidak bisa karena luasnya– kemudian ingin menginap, tak perlu khawatir. Ada banyak penginapan sederhana di sepanjang jalan menuju kebun raya. Ada Pondok Daun, Villa Rose Garden, Pondok Lutfi, Penginapan 47, Villa Bela, Villa Laras, Tirta Bening, yang semuanya bisa langsung didatangi tanpa booking lebih dulu.
Di dalam kebun raya juga ada 2 guesthouse, yakni Wisma Sakura (5 kamar) dan Wisma Medinila (9 kamar), plus Wisma Eukaliptus (7 kamar) yang agak di belakang kebun raya. Sewanya saat hari kerja Senin-Jumat mulai dari Rp 250.000-400.000 per kamar per malam, dan saat akhir pekan mulai dari Rp 1,4-3,6 juta per wisma per malam. Untuk makanan, tamu juga bisa memesan ke pengelola wisma.
Menginap di wisma ini akan sangat menyenangkan bila kita bersama keluarga dan si kecil, karena mereka bisa bermain dan kamping di halaman wisma. Bisa juga untuk acara outing kantor atau kumpul bersama komunitas, misalnya untuk hunting foto. Tapi sebaiknya booking dulu minimal sebulan sebelumnya karena peminat wisma ini cukup banyak.
Memborong Buah dan Sayur
Begitu melewati pintu keluar kebun raya, warung-warung penjual pisang sale, bayam goreng, dodol, kerupuk, ubi cilembu, sampai kaktus, berderet menunggu dikunjungi. Juga aneka t-shirt Gunung Gede-Pangrango yang jadi favorit untuk saya beli –biasa, supaya mengesankan bahwa saya sudah mendaki kedua gunung itu, padahal belum, hahaha! Oh iya, berbagai macam oleh-oleh camilan itu bisa dicicipi dulu sebelum beli, dan bisa ditawar.
Setelah itu, mampirlah ke tempat parkir bus, yang kalau Sabtu dan Minggu berubah menjadi pasar buah dan sayur. Nanas, manggis, rambutan, sawo, wortel, kubis, lobak, talas, jagung, semuanya dijual dengan harga murah meriah. Kalau membawa kendaraan sendiri, siap-siap saja bagasi mobil penuh dengan oleh-oleh. Kalau naik kendaraan umum ya, sebelum memborong, pikirkan dulu bagaimana nanti cara membawanya supaya bahu tidak pegal-pegal setelah sampai rumah.