Perupa kelahiran Thailand Korakrit Arunanondchai menggelar pameran pertamanya di Indonesia. Sang seniman mengeksplorasi beragam tema. Salah satunya, keinginan akan pembaruan dan ketakutan untuk melepaskan, yang dia tuturkan melalui hubungan simbolis antara burung dan ular.
Museum MACAN mempersembahkan presentasi tunggal karya seniman kelahiran Thailand yang tinggal di New York dan Bangkok, Korakrit Arunanondchai. Berjudul ‘Sing Dance Cry Breathe | as their world collides on to the screen’, pameran ini dapat dinikmati mulai 30 November 2024 hingga 6 April 2025.
Menawarkan perspektif yang luas tentang praktik artistik Arunanondchai, pameran ini diimajinasikan sebagai sebuah teater yang terdiri dari para aktor non-manusia yang mewujudkan bentuk-bentuk antropomorfis dan tampil melalui cahaya, suara, arsitektur, dan gambar.
Pameran ini dibayangkan sebagai sebuah teater, dengan aktor non-manusia yang berinteraksi dengan para penonton melalui medium suara, lagu, dan napas. Aktor-aktor non-manusia berwujud bentuk-bentuk antropomorfis, dan tampil melalui cahaya, suara, arsitektur, dan gambar.
Menampilkan karya-karya dari tahun 2018 hingga saat ini, pameran ini membangkitkan api yang ada di dalam benak kolektif kita, mengeksplorasi ketegangan antara hasrat akan pembaruan dan rasa takut untuk melepaskan.
Arunanondchai juga menyoroti simbol burung dan ular—simbol yang muncul dalam berbagai mitos yang menceritakan asal-usul manusia sebagai metafora akan hubungan yang dibangun manusia pada struktur sosial dan alam, bukan hanya sekadar manifestasi fisik atau naratif.
MENGEDEPANKAN EMOSI & MERANGKUL PERASAAN. Dikenal dengan pendekatan penceritaan, karya-karya Arunanondchai menjawab kebutuhan kolektif akan narasi, sekaligus membongkar dan mempertanyakan kisah-kisah yang tidak lagi relevan dalam menghadapi masa kini.
Didorong oleh rasa takut akan kehilangan akan sesuatu yang tidak diketahui dan akan ketidakpastian, sang perupa menggabungkan animisme dan fiksi ilmiah untuk menciptakan karya yang mengedepankan emosi manusia dan merangkul perasaan-perasaan pelik tanpa harus dijabarkan.
Pameran ini menyelidiki hubungan antara bumi dan langit yang terhubung melalui beragam raga, baik yang membusuk maupun yang bangkit. Semuanya menundukkan pandangan dan merapal doa untuk makhluk baru bersayap api yang akan muncul kembali.
Venus Lau, Direktur of Museum MACAN, mengatakan presentasi tunggal pertama dari karya-karya Korakrit Arunanondchai di Indonesia Menghadirkan spektrum tema yang berulang, termasuk proses pembusukan dan kelahiran kembali yang berlangsung secara bersamaan.
“Sesuatu yang ghaib, hasrat kolektif terhadap kekuatan yang lebih besar, dan seni sebagai proses dalam memperbaharui spiritualitas. Akan ada sejumlah lukisan baru yang belum pernah ditampilkan di tempat lain,” kata Venus.
Korakrit Arunanondchai sendiri mengakui, pameran ini adalah pameran tentang emosi manusia yang dipindahkan ke dalam berbagai medium, objek, dan alam di sekitar kita. “Saya pikir untuk saat ini, ada begitu banyak perasaan yang diekspresikan melalui medium di luar diri. Medium tersebut menampung emosi kolektif, dan dapat dirasakan kembali melalui layar,” ungkapnya.
Itulah sebabnya, ia ingin menghadirkan sebuah pameran yang seakan-akan adalah sebuah teater, dengan aktor-aktor non-manusia yang berbagi ruang dengan kita (manusia), seraya membawa serta emosi yang mereka pendam.
“Pameran ini adalah sebuah panggung, yang mengundang penonton untuk menjadi penampil—bernyanyi, menari, menangis, bernapas, merasakan seluruh emosi yang dihadirkan melalui layar-layar yang ditampilkan. Kita dapat mendengarkan hiruk-pikuk dunia non-manusia menyanyikan lagu-lagu ini, membawa semua perasaan ini kembali kepada kita,” tuturnya.
KALA PERUPA MEMBACA PERISTIWA. Sebagai bagian dari pekan pembukaan pameran, Museum MACAN menyelenggarakan wicara perupa “as his world collides onto the screen: A Conversation” pada 1 Desember 2024. Sesi ini menghadirkan Korakrit Arunanondchai dan peneliti Indonesia Rugun Sirait, yang bekerja di ranah etnografi digital dan pemrograman film, untuk menjelajahi konteks lebih luas yang melingkupi praktik media dan budaya layar di Asia Tenggara.
Karya Korakrit Arunanondchai berfokus pada potensi transformatif dalam proses bercerita. Melalui setiap proyeknya, ia mengembangkan sebuah kosmos yang terdiri dari kisah-kisah yang terjalin berkelindan, yang mana ia ceritakan melalui instalasi- instalasi video, lukisan, objek-objek, dan karya performatifnya yang ekspansif.
Dalam video-videonya, ia memproses pengalaman- pengalaman pribadinya sebagaimana ia mencerna beragam peristiwa politik, sejarah, maupun pertanyaan-pertanyaan akan masa kini yang kian dilanda krisis.
Lahir di Bangkok pada 1986, dan berpraktik terutama di Bangkok dan New York (AS), Arunanondchai seringkali memanfaatkan konteks budaya yang berakar dari pengalaman pribadinya, serta ruang-ruang yang ditandai oleh trauma pascakolonial. Dengan menggunakan pendekatan esaistis dan eksperimental, sang perupa bekerja dengan banyak kolaborator untuk mengumpulkan materi-materi audio dan visual dari berbagai sumber.
Mengacu pada filsafat dan mitos, narasi-narasi yang dibawakan oleh Arunanondchai merangkai pertanyaan-pertanyaan tentang kesadaran, empati, dan komunitas.
Arunanondchai telah berpameran di berbagai belahan dunia, termasuk di antaranya pameran tunggal di Bangkok (2024), Rio de Janeiro (2024), Belfast (2023), Stockholm (2022), Seoul (2022), Singapura (2022), Trondheim (2021), Porto (2020), Milan (2019), Helsinki (2017), Bolzano (2016), Paris (2015), dan New York (2014).
Ia juga telah berpartisipasi dalam berbagai biennale, antara lain Gwangju Biennale (2021), 16th Istanbul Biennale (2019), 58th International Art Exhibition – La Biennale di Venezia (2019), Berlin Biennale (2016) dan 20th Biennale of Sydney (2016).
Karya-karyanya telah menjadi bagian dari koleksi permanen Whitney Museum of American Art, New York; Centre Pompidou, Paris; Fondation Louis Vuitton, Paris; Tate Modern, London; Astrup Fearnley Museum, Oslo; Zabludowicz Collection, London; Sifang Art Museum, Nanjing.
Arunanondchai juga merupakan salah satu pendiri dan penyelenggara Ghost, festival seni dan performans di Bangkok.***