si-manis-jembatan-merah-refleksi-anak-bangsa
Produksi teater ke-42 Indonesia Kita yang mengangkat tema sejarah ‘Si Manis Jembatan Merah’ dipentaskan di Jakarta, akhir September 2024. | DOC. DIDI MUGITRIMAN
Art & Culture
Si Manis Jembatan Merah: Refleksi Anak Bangsa  
Devy Lubis
Thu, 10 Oct 2024

Teater Indonesia Kita dalam formasi lengkap kembali hadir menyuguhkan pertunjukan yang menghibur, sekaligus menggugah kesadaran kita sebagai anak bangsa dan warga negara. Dalam produksi ke-42 kali ini, Agus Noor dan kawan-kawan memadukan kisah sejarah dan cerita fiksi horor. 

Pementasan bertajuk ‘Si Manis Jembatan Merah’ tersebut berlangsung di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 27 – 28 September 2024.

Pertunjukan ‘Si Manis Jembatan Merah’ mengisahkan keberadaan jembatan di satu kota yang memiliki nilai sejarah penting bagi penduduk setempat. Berbagai kenangan melekat di tempat itu. Nostalgia veteran perang yang kerap menziarahi jembatan yang pernah dipertahankannya dari serangan musuh, kaum-kaum terpinggirkan yang menggunakan jembatan sebagai ‘rumah’, hingga keberadaan hantu perempuan yang konon kerap menangis.


 Konflik warga mencuat ketika beredar kabar bahwa Jembatan Merah akan dirobohkan untuk memuluskan rencana pembangunan jembatan lintasan kereta supercepat. Ketika banyak orang mulai jatuh sakit dan mati, muncul rumor bahwa penunggu Jembatan Merah meminta tumbal.

 Agus Noor sebagai penulis naskah dan sutradara menyatakan bahwa lakon ini memang sengaja mengambil mitos bernuansa horor tentang penunggu jembatan untuk mengajak penonton memahami makna di balik kisah yang dipertunjukkan, dengan ringan dan sederhana. Dalam kisahnya, ia bersama Joind Bayuwinanda menyisipkan segala bentuk kegelisahan akan nilai-nilai berbangsa dan bernegara, dan tema nasionalisme.

 “Jembatan Merah ini adalah sebuah simbol dari sebuah monumen yang menandai perjuangan rakyat dalam mencapai kemerdekaannya,” cetusnya.

 Di balik tengara (landmark) jembatan ini, kata Agus Noor lagi, tersimpan kisah-kisah masa lalu yang dinamakan sejarah. Ia merasa saat ini kita sedikit demi sedikit dan secara tidak sadar mulai melupakan atau terlupa akan sejarah Republik ini.

 “Bukannya tanpa alasan jika kehadiran sosok si manis yang menangisi Jembatan Merah ini, adalah perasaan yang tak tersampaikan dan terungkap dari mereka yang telah menyiapkan kehidupan yang kita jalani saat ini,” ujar Agus Noor.

 Butet Kartaredjasa, salah satu pendiri Indonesia Kita, menyatakan bahwa keputusan tim Indonesia Kita mengangkat kisah bertema kebangsaan pada pentas mereka yang ke-42 sudah tepat. Menurutnya, teater Indonesia Kita telah melalui perjalanan waktu yang cukup lama dalam menumbuhkan dan memperkuat rasa ke-Indonesia-an bagi pecinta seni pertunjukan Tanah Air melalui pementasan-pementasan mereka.

 “Tentu saja pekerjaan ini tidak bisa dikatakan selesai. Dari waktu ke waktu, kami harus terus menyuguhkan lakon-lakon yang terus mengingatkan publik tentang betapa kita jangan pernah lelah mencintai Indonesia,” ujar Butet Kartaredjasa.

Dalam catatan pengantarnya, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid turut mengapresiasi pementasan ini. Ia mengungkapkan, ‘Si Manis Jembatan Merah’ karya Agus Noor seolah mengajak setiap anak bangsa untuk melihat kembali sejarah sebagai cermin untuk melihat kondisi saat ini. Betapa jauh kesenjangan antara apa yang dibayangkan saat awal kemerdekaan dengan apa yang kita lihat sekarang.

 Kesenjangan itu, kata Hilmar, menciptakan ruang. Dan, dalam ruang itulah, kita bisa melakukan refleksi tentang apa yang salah dalam perjalanan kita sebagai bangsa. “Gagal mempertahankan jembatan ini maka seluruh kota akan dikuasai oleh musuh dan cita-cita kemerdekaan terancam kandas,” ungkapnya.


 Ia pun mempertanyakan, apakah setiap kita mampu menjaga ‘titik’ yang penting ini? “Dalam refleksi terhadap kehidupan kita sekarang, ada banyak ‘Jembatan Merah’ yang gagal kita pertahankan, ada banyak ‘Jembatan Merah’ yang harus kita jaga agar tidak semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan,” tulisnya.

 Pertunjukan didukung para aktor dan aktris andalan Indonesia Kita. Antara lain Butet Kartaredjasa, Cak Lontong, Akbar Kobar, Abdel Achrian, Inaya Wahid, Sha Ine Febriyanti, Bude Sumiarsih, Marwoto, Susilo Nugroho, Joened, dan Wisben. Orkes Sinten Remen dan para penari dari DvK Art Movement melengkapi suasana dan cerita yang dibangun dalam pertunjukan ini.

 


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru