SEORANG sahabat saya berkeluh kesah: "Arsal, saya ini lelah. Lelah sekali. Bukan fisik terutama, tetapi mental. Kadang-kadang begitu putus asa sehingga terdorong rasanya untuk lari. Mau lari ke mana, inilah yang lebih melelahkan dan membingungkan saya."
Pertanyaan sahabat saya ini sedikit banyaknya melelahkan saya juga. Saya seperti Anda, punya hati. Hati yang sewaktu-waktu bergetar. Kalau terlalu banyak bergetar, tentu akhirnya menimbulkan rasa lelah.
Anda punya sahabat? Betul-betul sahabat? Maka suka-dukanya menjadi milik bersama. Anda tak dapat membebaskan diri dari keterlibatan itu. Itulah solidaritas. Spontan muncul dari dalam tanpa lebih dulu diatur-atur, dipikir-pikir atau direnung-renungkan.
"Arsal, betapa saya tidak lelah, tidak bingung. Selama ini, cuma saya yang selalu memberi, memaafkan, memahami. Belum pernah merasakan apa yang disebut diberi, dimaafkan, dipahami." Keluh sahabat saya itu lebih lanjut.
Akh, masak iya. Saya tiba-tiba curiga, jangan-jangan ia mengidap sejenis gangguan kejiwaan. Saya terhenyak, diam membatin. Dengan memeras daya ingat semaksimal mungkin, saya mencoba kembali memasuki hari-hari yang telah kami lalui bersama.
Betul. Memang ada sesuatu yang kurang beres. Dia, sahabatku itu, yang sempat menduduki sejumlah jabatan pimpinan dalam berbagai organisasi, berkali-kali menyatakan bahwa dirinyalah yang selalu nomor satu. Nomor satu sebagai penggagas, nomor satu sebagai pengabdi, nomor satu sebagai penyelamat. Pokoknya: nomor satu dalam segala hal. Tanpa dia, semua bakal kacau, bahkan ambruk berantakan.
Kemarin, jika ia ucapkan itu, saya menganggapnya guyon. Tetapi saat ini, saya betul-betul prihatin, betul-betul khawatir, betul-betul kasihan. Kasihan kepadanya.
*****
DI RUMAHNYA terdapat tiga buah pesawat telepon. Saya pernah bertanya kepadanya: "Di rumah jabatan walikota cuma satu pesawat telepon. Di rumah Anda ini kok sampai tiga, apakah ini bukan pemborosan namanya?" Ia dengan tenang sambil tersenyum menjawab: "Waah, Arsal ini rupanya belum tahu betul siapa sesungguhnya saya ini. Arsal, ketahuilah, saya ini selalu mendapat interlokal penting dari berbagai tempat, terutama Jakarta. Coba bayangkan, jika datang interlokal dari Cendana atau Binagraha atau Sekneg atau Bakin, tahu-tahu pesawat telepon sedang terpakai. Ini 'kan gawat namanya. Jadi, berdasarkan saran dan petunjuk dari atas, saya terpaksa meminta tiga pesawat telepon dengan pengkhususan, satu berfungsi hot line, satu untuk urusan kantor biasa, dan satunya lagi untuk melayani keperluan keluarga, terutama anak-anak di rumah. Jadi, ini tidak mubazir". Mendengar keterangannya ini, saya cuma tersenyum.
Sekali tempo, ia tampak sibuk sekali di kamar kerjanya. Keadaan ini mungkin sengaja diatur karena ia terlebih dulu sempat mengetahui kalau saya ini sedang menuju ke sana.
Kamar kerjanya bagus, di sisi depan berdinding kaca tebal. Dari luar tidak tembus pandang, tetapi dari dalam ia bebas menyaksikan apa yang terjadi di luar.
Saya belum sempat mengetuk pintu, suaranya cukup keras kedengaran: "Masuk!"
"Anda sibuk sekali, apakah kehadiran saya tidak mengganggu?" Saya memulai percakapan. Inilah ucapan saya yang pertama, dan terakhir sekaligus.
"Tidak, tidak sama sekali. Bahkan kehadiran Arsal saat ini tepat sekali waktunya," jawabnya, tanpa memindahkan matanya dari tumpukan kertas di hadapannya.
"Arsal, saya memang sibuk sekali. Saya diminta oleh Jakarta menyiapkan konsep yang ampuh dan mantap bagaimana meredakan ketegangan berselubung antara pri dan nonpri. Belum itu rampung, datang lagi permintaan baru yang lebih merepotkan. Coba bayangkan, Arsal, Jakarta minta kepada saya untuk memikirkan langkah-langkah yang harus simultan dilakukan di berbagai sektor, setelah kenaikan harga bensin diberlakukan. Aahh, Jakarta begitu banyak mengharap dari saya."
Kalimat terakhir ini terasa diucapkannya untuk dirinya sendiri, penuh rasa bangga.
Saya belum sempat omong apa-apa, ia bicara lagi sambil berdiri dan melangkah meninggalkan kursi kerjanya, kemudian mengambil tempat duduk di samping kiri saya di kursi tamu.
Saya belum sempat omong apa-apa, ia bicara lagi sambil berdiri dan melangkah meninggalkan kursi kerjanya, kemudian mengambil tempat duduk di samping kiri saya di kursi tamu.
"Okay, kita tinggalkan pembicaraan tingkat pusat itu. Mari bicara tentang kota kita ini," katanya. Belum sempat saya menyahut, ia teruskan lagi:
"Arsal, apakah you tidak sadari bahwa kota kita ini sedang lari kencang menuju kota toko yang dimiliki oleh satu golongan saja?" Ia bertanya, lalu tanpa menunggu jawaban dari saya, ia teruskan lagi: "Ini, salah-salah bisa menjadi bom waktu. Kalau mereka yang memerintah kota ini lebih arif, lebih bijaksana, maka tentu yang mereka pikirkan bukan saja apa yang segera tampak sekarang, yang hanya menguntungkan diri mereka, tetapi berpikir jauh-jauh ke depan. Mereka harus konsekuen memihak kepada nasib bangsa, nasib rakyat. Rakyat kita ini sejak masa pemerintahan kolonial dulu sampai saat ini belum menjadi tuan di negeri sendiri, apalagi di kota-kota besar. Mereka, para penanggung jawab kota ini, Harus berpikir keras, berusaha dan bekerja keras agar dapat menyiapkan sarana dan wahana menuju hari esok yang harmonis, seimbang, yang notabene memihak dan menguntungkan rakyat. Rakyat inilah pewaris yang sah dari para pahlawan kemerdekaan yang telah mengorbankan jiwa-raganya untuk hari depan dan anak-cucunya."
Rupanya kehadiran saya di kantornya ini, hanya perlu untuk mendengarkan ucapan-ucapannya. Saya tidak diberi kesempatan untuk buka mulut. Dialog tidak ada. Sahabat saya ini begitu bernafsu memberi atensi ke luar, padahal sasaran utamanya semestinya adalah dirinya sendiri. Ia dalam keadaan gawat. Gawat sekali. Kasihan! (*)