Golewa dapat disebut sebagai salah satu kecamatan di Ngada yang mempunyai sumber daya paling memadai. Tanahnya fertil sebab terapit dua gunung vulkanis, Ebulobo (2096 mdpl) di timur dan Inerie (2245 mdpl) di barat, penyuplai mineral magnesium juga sulfur.
Tidak berlebihan jika ada yang berseloroh, “tanam apapun di Golewa, pasti tumbuh.” Termasuk kopi Arabika. Golewa memiliki beberapa sentra budidaya kopi. Di desa Rajabata, saya menjumpai Marselina Walu, satu-satunya petani Flores bergelar Q-Grader, penilai kualitas kopi.
Lembah dan ngarai-ngarai sempit Golewa mengalirkan air berlimpah, tak cuma menyuburkan lahan tapi juga memberi kejutan estetik menyegarkan. Sekitar 5 km ke arah selatan dari Turetogo, bersembunyi air terjun Padha Watu.
Saya musti berjalan kaki menuruni 1000 anak tangga untuk mencapainya, tapi penduduk desa telah membuatkan jalur yang nyaman dengan pola pelintasan sesuai standar negara maju - sesuatu yang mengagetkan bagi saya mendapatinya di sini.
Menuruni lereng jalur nan teduh, terdengar kicauan bermacam unggas liar ditingkahi suara renjis air. Seorang pengunjung asing seksama mendengarkan gema kokok ayam hutan. “That one must be Gallus varius, a male green junglefowl,” – Itu pasti Gallus varius, ayam hutan hijau jantan, katanya terpesona.
Sedangkan saya malah terpikat sarang-sarang lebah yang bergelambir di tebing sebuah kelokan cadas, nun di atas kepala saya sarang lebah itu meneteskan madunya, saya hanya sanggup menelan air liur.
Air terjun di kaki lereng ini berasal dari mata air Uluwae yang menelusup di celah perbukitan Beo dan Siutoro. Ada tiga kaskade tercipta, pengunjung bisa menyinggahi ketiganya dalam satu jalur singkat ini.
Yang paling gampang yakni Soa Poro, treknya terbilang landai. Air terjun kedua areanya lebih sempit, dan seringkali dipandang sambil lalu saja karena godaan lebih besar tertuju kepada air terjun ketiga, Padha Watu, yang terletak paling bawah.
Saya sedikit berhati-hati untuk mencapai Padha Watu, sebab lereng yang terlalu curam menyebabkan sarana tangga semen diubah dengan tangga besi yang agak licin. Meski begitu, sebagian pengunjung menganggapnya sebagai tantangan wajar. Beberapa orang berpikir kondisi demikian justru bagus; lebih minim orang lebih sedikit kerusakan.
Begitu bersemuka dengan Padha Watu, saya mengamini pendapat itu, Padha Watu rentan rusak jika tiap hari dikerubuni orang. Bagaimanapun, siapa tak tergoda mencelupkan kaki ke kolam yang kebiruan atau berdiri di atas jembatan batu alamiah?
Saya pikir alam tahu cara untuk memproteksi dirinya, dengan tebing yang curam misalnya, sehingga akses ke air terjun tidak terlalu mudah. Lagipula, perjalanan ke tempat serupa nirwana sejatinya perlu sedikit tantangan, bukan?