Beragam pengalaman mereka yang hidup di tepian kota dan laut. Dari Jakarta, Bekasi, Gresik, Makassar hingga Bremen.Tentang sekilas bagaimana orang terus beradaptasi,bertahan dan memberi makna pada batas yang terus berubah antara daratan dan laut.
Semuanya terekam dalam pameran fotografi yang digelar oleh Goethe Institut Indonesia dan Bremen Centre for Building Culture di Jakarta.
Saya berkesempatan mengunjungi pemeran foto yang bertajuk ‘Living at the Urban Seafront’ pada Jumat (10/5/2025).Pameran ini berlangsung dijadwalkan berlangsung pada 6 Mei sampai 1 Juni 2025 di Goethe-Institut, Jakarta.
Pameran serupa sebelumnya sudah dipamerkan di Bremen Centre For Building Jerman pada tanggal 14 Maret hingga 25 April 2025 lalu. Karya-karya foto yang ditampilkan menawarkan tinjauan mendalam terkait cara masyarakat beradaptasi dengan ketidakpastian.
Pameran ini diikuti 17 fotografer, yakni Aan Melliana, Abyan Madani, Agus Susanto, Arie Basuki, Dikye Ariani, Djuli Pamungkas, Fernando Randy, Idealita Ismanto, Iqro Rinaldi, Kay Michalak, Muhammad Fauzan, Nafiah Solikhah, Nikolai Wolff, Qeis Sulthon, Rejeky Kene, Wiagung Prayudha, Yuan Adriles. Hasil karya dari ke-17 fotografer tersebut dipilih melalui panggilan terbuka oleh enam juri interdisipliner, fotografer, peneliti, ilmuwan, perancang pameran, dan aktivis.
Berbagai foto serta kisah menyingkap tabir seperti infrastruktur yang menahan air pasang, keluarga yang merombak rumah di atas tanah yang semakin tenggelam, serta pemukiman warga yang berulang kali mengungsi. Ketangguhan adalah cara melawan yang baru.
Fernando Randy misalnya, membagi tiga karya foto dengan tema dan visual yang mempresentasikan suasana yang kerap terjadi di pesisir laut Jakarta.
Ia seakan bercerita tentang banjir rob yang melanda kawasan Muara Angke, tentang Jakarta yang mungkin akan tenggelam beberapa tahun lagi seperti yang diramalkan.
Pria yang sudah 15 tahun menekuni dunia fotografi itu memberi tema ‘Tanpa Gemuruh Laut Perlahan Menyusut Seolah Biasa’ pada karya hasil jepretannya.
Foto foto karya fotografer lainnya secara umum memberi pesan warning terhadap perubahan iklim dan menjadi pengingat sekaligus alarm agar kita bisa lebih peduli pada setiap jengkal permasalahan lingkungan yang terjadi.***