Kemarin malam saya baru selesai meeting di sebuah kafe di kawasan Jalan Antasari, Jakarta Selatan. Lalu saya memesan ojek online untuk mengantar saya ke Stasiun Tanjung Barat, untuk pulang ke Depok. Begitu dapat, muncul notifikasi di aplikasi ponsel saya: “Hallo, saya driver anda untuk pesanan ini, saya tunarungu mohon guna chat untuk berkomunikasi dengan saya terima kasih.”
Wah, baru sekali ini saya ketemu situasi ini. Menarik.
Setelah menghapal nama dan nomornya, saya pun menunggu. Tak sampai dua menit motor dan drivernya pun sampai di depan kafe. Sebelumnya saya sempat berpikir, bagaimana berkomunikasi dengan sang pengendara? Saya kan gak bisa bahasa isyarat. Tapi muncul ide tiba-tiba, saya langsung menyodorkan layar ponsel saya yang menunjukkan percakapan tulisan saya dengan Fahmi, sang driver itu. Begitu melihat dan membacanya, ia tersenyum dan mengangguk. Saya pun tersenyum membalas dan menerima helm yang ditawarkannya.
Ketika motor berjalan, saya mulai bertanya-tanya, bagaimana ia memilih jalan dan cara berkomunikasi dalam perjalanan selama 13 menit itu. Sebab, walau rute bisa dibaca via aplikasi di ponsel driver, tapi menjelang stasiun tujuan, ada beberapa variasi jalan yang berbeda. Ternyata, Fahmi mengambil jalan pintas. Namun sayangnya jalan pintas yang diambilnya telah ditutup karena sudah melewati pukul 21.00. Ini yang saya kuatirkan; bagaimana cara kami berkomunikasi?
Tapi Fahmi langsung mengangkat satu telunjuknya dan memutar-mutarnya. Saya menerjemahkannya bahwa dia mencari satu jalan alternatif lagi. Dan tak jauh dari situ, kami mendapati satu jalan tembus sebagai alternatif. Dan akhirnya kami sampai di Stasiun Tanjung Barat melalui jalan kecil. Saya mengembalikan helm, menepuk bahunya dan mengacungkan jempol. Bagi saya, itu isyarat bahwa “semuanya beres dan terima kasih”, karena saya sudah melakukan pembayaran digital. Fahmi pun membalas sambal tertawa dengan mengacungkan jempol tanda semuanya beres. Mungkin juga karena apresiasinya bahwa pelanggannya paham bahwa ia tuna rungu.
Sambil berjalan menuju peron stasiun saya berpikir bahwa pengendara ojol tuna rungu ini sebenarnya cermin pula bagi kita yang fisik dan indranya sempurna. Bahwa mereka tetap berjuang dalam keterbatasan mereka. Sama sekali tidak menghalangi semangat dan ikhtiar mencari nafkah dan hidup sebagaimana orang lain yang indranya sempurna. Iseng-iseng saya browsing tentang pengemudi ojol yang tuna rungu. Ternyata ada di berbagai kota. Bahkan ada komunitasnya. Tapi bagi saya, ini adalah pengalaman baru yang unik.
Memang benar, penyandang keterbatasan alias different ability –disingkat difable, khususnya tuna rungu sebenarnya telah mendapat perlakuan setara oleh perusahaan operator ojek online. Dan itu diberlakukan secara universal, ada di berbagai kota. Banyak pertanyaan, antara lain bagaimana mereka mengetahui ada pesanan masuk. Caranya, semua ponsel merek di-set ke mode getar.
Setelah meluncur ke lokasi dan bertemu dengan pemesan, biasanya mereka memperlihatkan stiker atau kartu yang menyatakan bahwa mereka tuna rungu. Pada kasus yang saya alami, dalam komunikasi terekam melalui aplikasi, pengemudi sudah menyatakan bahwa ia adalah penyandang tuna rungu, sehingga, pemesan ojol sudah “bersiap” menghadapi realitas tersebut. Ada juga cara lain, yakni menempelkan stiker pada bagian belakang helm.
Stiker dimaksud biasanya juga informatif dan bersifat how to. Misalnya dapat bertuliskan, “Saya tunarungu/tuli. Mohon kerja samanya. 20 meter sebelum belok tepuk pundak saya. Belok kanan tepuk pundak kanan. Belok kiri tepuk pundak kiri. Berhenti tepuk keduanya. Terima Kasih".
Menurut pendapat beberapa netizen, pengendara tuna rungu cenderung lebih berhati-hati, kafrena berhadapan dengan rambu, terutama di traffic light, mereka tengok kanan-kiri terlebih dahulu, juga pada saat membelok tampak lebih waspada. Dan usaha-usaha dari para pengendara ojol itu membuat penumpang merasa lebih nyaman.
Kebanyakan netizen juga memberi apresiasi pada pengendara tuna rungu karena telah memberi inspirasi bahwa tiap orang harus bekerja dengan giat walau memiliki keterbatasan. Para pengendara ojol tidak minta dikasihani melainkan justru menginginakan kesetaraan bekerja seperti halnya orang lain yang indranya semurna. Sementara publik juga melihatrealitas bahwa pada lembaga-lembaga usaha lainnya, para penyandang tuna rungu ini mengalami kesulitan untuk diserap sebagai tenaga kerja.
Yang jelas, pelajaran berharganya, mengarungi kehidupan, meski dengan segala keterbatasan, kita mesti tetap semangat. Life goes on. ***