pascamasa-dialog-seni-tak-berkesudahan
Instalasi seni berukuran gigantik berjudul 'Air Pasang (Tidal Water)' karya Iwan Yusuf dalam pameran 'Pascamasa' di Jakarta, 21 Desember 2023 - 21 Januari 2024. | DOC. DEVY LUBIS
Art & Culture
Pascamasa: Dialog Seni tak Berkesudahan
Devy Lubis
Tue, 16 Jan 2024

Pameran seni bertajuk 'PASCAMASA' di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, menghadirkan karya-karya yang menandai perkembangan seni rupa di Indonesia. Dua belas perupa dan empat kurator mengambil peran dalam pameran yang memadukan pengayaan manual hingga eksplorasi digital.

Resmi dibuka untuk umum pada 21 Desember 2023 dan dijadwalkan berakhir pada 21 Januari 2024, pameran yang mengambil tema besar Seni Rupa Indonesia Kini: Pascamasa tersebut menyempurnakan serangkaian ekshibisi artistik Galeri pada tahun lalu sekaligus mengawali sederet jadwal pameran yang diagendakan sepanjang tahun ini.


Karya-karya, termasuk yang bersifat partisipatoris, merupakan karya termutakhir 12 peserta pameran. Mereka adalah Iwan Yusuf, Meliantha Muliawan, Nesar Eesar, Irfan Hendrian, Tomy Herseta, Arkiv Vilmansa, Azizi Al Majid, Condro Priyoaji, Franziska Fennert, Nona Yoanisarah, Sikukeluang, dan Arafura.

Kurator pameran Rizki A. Zaelani, A. Rikrik Kusmara, Sudjud Dartanto, dan Bayu Genia Krishbie memilih tema Pascamasa untuk merespon perkembangan terkini dari wacana kebudayaan yang bertaut pada isu tentang pasca. Menjelaskan masalah-masalah era kesudahan seperti pascaindustrial, pascamodernisme, pascakebenaran, dan lainnya.


Itulah sebabnya, kata Sudjud, karya dalam pameran ini beragam. “Ada dari medium baru; kita menyebutnya seni media. Karena di sini seni beririsan dengan teknologi media,” paparnya satu hari menjelang pembukaan pameran, 20 Desember 2023.

“Di dalam ruang pamer kita akan melihat berbagai jenis praktik seni rupa yang mengelaborasi medium dan teknologi medium. Teknologi media itu bisa dalam arti moving images, suara, cahaya, laser, dan tentu saja medium konvensional,” kata Sudjud, menambahkan.


Memasuki Gedung A Galeri Nasional Indonesia, instalasi berukuran masif karya Iwan Yusuf menyambut. Perupa asal Gorontalo ini mengangkat isu mengenai alam dan narasi pesisir dengan karya gigantik dari material jaring.

Dalam karya berjudul Air Pasang (Tidal Water, 2023), Iwan bereksperimen dengan jaring ikan bekas dan baru, sampah laut dan perairan, besi serta tali tampar. Benda-benda ini merepresentasikan kerusakan alam akibat reklamasi; bagaimana gelombang kemudian membawa kembali sampah-sampah darat ke pesisir.

Area yang kini menjadi kompleks pertokoan dan pusat perbelanjaan dulunya adalah lautan.


Eksplorasi samudra dituangkan Arkiv Vilmansa dalam seri karya ‘Dark Blues Abyss’ berjudul Being the Myth #1 dan #2, serta Puppeteer. Memadukan lukisan 2-dimensi dengan objek 3-dimensi Domma dan gurita, tiga karya perdana dari seri kekaryaan terbarunya (2023) ini mencoba mengingatkan kita akan keindahan bahari alam bawah laut.

Isu seputar alam hadir pula dalam karya seniman kolektif Sikukeluang Tigotungkusajorangan (2023). Bedanya, karya ini menyoroti bukan hanya masalah lingkungan, melainkan juga permasalahan sosial yang diakibatkannya.


Memanfaatkan mix-media berupa seperangkat elektronik audio-visual, tanah, dan pasir, Sikukeluang menyuarakan kritik terhadap oligarki terkait pengambilalihan lahan dalam konteks kebakaran hutan dan lahan gambut, tambang batubara, serta eksplorasi pasir silika di Riau.

"Hampir semuanya menimbulkan potensi konflik dan bentrokan dengan masyarakat setempat," tutur Thifal Syahla Apdafiota, yang memandu tur pada kesempatan berbeda.


Selain isu lingkungan, ungkapan artistik dari seniman peserta juga muncul dalam tema-tema lainnya seperti identitas, keseharian, dan domestik. Nesar Eesar, salah satunya.

Seri karya perupa berdarah Afghanistan yang menetap di Yogyakarta tersebut, The Ambiguous Journey (2023) #16 hingga #36, terinspirasi dari pengalaman pribadi Nesar dan jutaan orang lain yang mengungsi saat perang berkecamuk di negaranya.

Miniatur kapal tergantung di tengah ruangan, diapit tujuh belas lukisan cat minyak di atas kanvas kecil dan sebuah lukisan berukuran besar yang menggambarkan ‘manusia perahu’ terombang-ambing di lautan. Seluruhnya menceritakan betapa ambigunya hidup di tengah pusaran konflik berkepanjangan.

“Perahu saya buat dari karpet, lalu dilapis resin, menyimbolkan kehilangan tanah air di mana kami lahir dan harus kami tinggalkan, membawa budaya dan tradisi yang kami punya ke negara yang kami kunjungi,” ujar Nesar.


Toys Art, Meme, hingga Proyeksi Cahaya. Catatan kuratorial menyatakan, pemilihan 12 perupa dalam pameran ini didasarkan pada keragaman praktik dan latar belakang disiplin mereka. Menunjukkan berbagai gejala lintas disiplin/transdisipliner/ interdisipliner sebagai wajah dari perkembangan seni rupa Indonesia terkini.

Arkiv Vilmansa, misalnya, menempuh pendidikan arsitektur, kemudian menekuni penciptaan karya seni rupa yang identik dengan produk mainan atau toys art. Tomy Herseta dengan latar belakang akademis desain interior, berfokus pada suara dan cahaya dalam karya yang dibawanya di pameran kali ini, Abundant/Abandoned (2022).

Arafura yang digawangi anak-anak muda berlatar Desain Komunikasi Visual justru mengeksplorasi motion graphic dan proyeksi cahaya dalam Animental (2023). Meliantha Muliawan melalui Minibeast #6 (2023) berbicara tentang pesatnya teknologi informasi yang membuat orang tak sadar melupakan kebiasaan-kebiasaan manual, termasuk interaksi dengan sekitar.


Sementara Azizi Al Majid, dengan The Internet Love Machine-nya (Series), mencoba menyajikan fenomena kultural meme yang mendominasi komunikasi di era serba-digital.

Irisan antara seni dan teknologi juga dapat dilihat pada karya Nona Yoanishara Brain Dead: A Circuit of Mind yang mengembangkan hubungan antara kesadaran manusia dan memori melalui Brain Computer Interfaces (BCI).


Di samping menampilkan praktik interdisipliner, Pascamasa juga menampilkan karya-karya perupa muda yang bergulat pada persoalan bentuk atau form seperti Irfan Hendrian. Ia memamerkan karya dari material kertas yang disusun menjadi trimatra layaknya patung.

Instalasi berjudul Unobtainable Build (2023) ini adalah monumen ingatan dari dokumen-dokumen yang ditumpuk, dipadatkan, dan dibentuk.

***


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru