Dahulunya adalah gudang rempah-rempah milik VOC, lalu dijadikan gudang senjata Jepang, hingga jadi museum bahari. Lantai bawahnya kini melesak turun 80 cm.
Setelah ratusan tahun berlalu, tentu banyak yang berobah di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya. Tapi ada juga yang tidak berobah. Meski lalu-lintas sudah sedemikian ramai. Teknologi transportasi pun sudah berobah. Tapi menara pengawas pelabuhan yang dibangun Belanda itu masih berdiri tegak. Demikian pula dengan galangan kapal VOC, yang kini diberi nama “Galangan VOC” dan dimanfaatkan untuk kafe dan restoran. Sementara satu bangunan lagi, yang dulu berfungsi sebagai gudang rempah-rempah kini menjadi museum. Museum Bahari.
Ya, sebelum zaman pendudukan Hindia Belanda, VOC (Vereningde Indische Compagnie ), perusahaan dagang Belanda-lah yang merintis, mengaduk-aduk hasil bumi Nusantara, lalu mendirikan basis di Pelabuhan Sunda Kelapa, hingga muncullah kemudian kastil Batavia. Belanda kemudian membagi kompleks bangunan-bangunan tersebut. Bangunan-bangunan di sisi timur digunakan untuk gedung-gedung VOC. Sementara bangunan di sisi barat untuk gudang rempah-rempah, kayu dan tekstil. Di tengahnya adalah kanal yang bermuara ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Inilah kawasan perniagaan yang penting, sibuk dan dijaga ketat. Kapal-kapal besar dan kecil hilir-mudik mengangkut rempah-rempah seperti cengkeh, buah pala, lada, kayu manis, kayu putih, tembakau, kopra, daun teh, biji kopi dan lain-lain untuk diangkut ke Eropa dan beberapa negara lain di dunia.
Gudang rempah itu sendiri dibangun pada tahun 1652, dengan konstruksi tiga lantai, menghadap ke Teluk Jakarta. Di sebelah kanan, tak jauh dari gudang itu dibangun Menara Syahbandar pada tahun 1839. “Sebenarnya, pembangunan gudang ini sempat terhenti, ketika Belanda sedang berperang melawan Sultan Hasanduddin dari Gowa atau Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, dana pembangunan sudah tersedot habis ke urusan perang,” cerita Muhammad Isa, Bagian Koleksi di Museum Bahari Jakarta.
Kemudian, pada era Jepang, gudang itu digunakan sebagai depo perbekalan alias logistik perang. Kemudian, setelah Indonesia Merdeka difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PTT (Post Telepon dan Telegraph)
Pemda DKI kemudian mengambilalih bangunan ini lalu merenovasinya. Pada tanggal 7 Juli 1977, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikannya sebagai Museum Bahari.
Di dalam museum bisa kita temukan berbagai benda peninggalan VOC Belanda, replika perahu, foto-foto dan berbagai lukisan, alat bantu navigasi pelayaran hingga para pahlan Indonesia yang bernafaskan kebaharian.
Kalau mau dihitung, terdapat sekitar 125 koleksi benda-benda sejarah kelautan, terutama kapal dan perahu-perahu niaga tradisional. Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi perahu asli dan 107 buah miniatur, foto-foto dan biota laut lainnya. Termasuk di dalam koleksi yang penting adalah perahu tradisi asli Lancang Kuning (Riau), Perahu Phinisi Bugis (Sulawesi Selatan), Jukung Karere (Irian) berukuran panjang 11 meter.
Arsitek kolonial Belanda mempersiapkan bangunan berlantai tiga itu agar dapat bertahan lama terhadap serangan badai laut tropis yang mengandung garam. Tembok sekeliling gudang sangat tebal dengan tiang-tiag penyangga langit-langit yang kokoh menggunakan kayu kayu ulin (kayu besi) berukuran besar sehingga tak gampang keropos dari gangguan cuaca maupun rayap.
Tiang-tiang penyangga itu masih kokoh berjajar ditiap lantai ruangan hingga kini. Udara ruangan pun tetap terjaga, sehingga rempah-rempah yang tersimpan disitu bisa bertahan lama. Disain pengaturan sirkulasi udara menjadikan seluruh ruangan terasa sejuk dengan puluhan jendela besar pada tiap ruangan –terbuka siang-malam sepanjang masa. Sehingga rempah-rempah tetap segar sebelum dikirim keberbagai tempat yang jauh.
Namun sebenarnya museum ini tidak sepenuh aman dari gangguan alam. Terjangan badai tropis dan pasang-surut air laut membuat gedung museum melesak 80 cm ke dalam tanah. Akibatnya, pintu-puntu di lantai bawah tampak jadi lebih pendek. Plafon ruang pamer di lantai bawah menjadi lebih pendek, sehingga wisatawan asing yang bertubuh jangkung mesti menundukkan kepala saat masuk.
Untuk ukuran sebuah museum, Museum Bahari ini tergolong agak sepi pengunjung. Sesekali wisatawan asing datang. Angin laut yang menerobos dari jendela dan sela-sela bangunanlah yang menemani benda-benda koleksi sejarah yang kesepian itu. Mengipasinya dari tahun ke tahun. ***