menjadi-manusia-di-ujung-tahun
Desert in Marocco | Foto Makhfud Sappe
MENJADI MANUSIA DI UJUNG TAHUN
By Muliadi Saleh, Esais Reflektif
Tue, 30 Dec 2025

Waktu, pada hakekatnya, bukan milik kita. Ia hanya dititipkan, lalu ditarik kembali tanpa aba-aba. Ia tidak dapat disuap oleh penyesalan, tidak pula diperlunak oleh harapan kosong. Waktu hanya mencatat mana hari yang kita gunakan untuk bertumbuh, dan mana yang kita biarkan gugur tanpa makna. Karena itu, akhir tahun bukanlah soal usia yang bertambah, melainkan kesadaran yang seharusnya menajam. 

Waktu tidak pernah berpihak. Ia adil dalam ketidakberpihakannya. Ia memberi jatah yang sama, tetapi hasil akhirnya sangat bergantung pada bagaimana kita mengisinya. Ada yang mengubah waktu menjadi kebajikan, ada pula yang membiarkannya larut dalam kesia-siaan. Maka akhir tahun sejatinya bukan soal pesta, kembang api, atau resolusi yang berumur pendek. Ia adalah momen untuk menilai kembali nilai diri dan kemartabatan kita sebagai manusia.

Manusia bermartabat bukanlah mereka yang paling keras berteriak tentang keberhasilan, melainkan yang paling jujur berdialog dengan nuraninya. Kita bermartabat ketika waktu tidak hanya kita habiskan untuk mengejar apa yang terlihat, tetapi juga untuk merawat yang tak kasat mata. Menanam dan memyemai kejujuran, empati, kesetiaan pada nilai, dan keberanian untuk tetap lurus di tengah dunia yang kian bengkok. Kemartabatan manusia diuji bukan saat hidup lapang, melainkan ketika waktu terasa sempit, pilihan terasa sulit, dan godaan untuk menyerah begitu dekat.

Akhir tahun mengajarkan satu hal penting bahwa hidup bukan sekadar tentang bertambah, tetapi juga tentang menata diri. Tidak semua yang kita kejar perlu dipertahankan. Tidak semua duka dan luka harus dibawa ke tahun berikutnya. Ada beban yang harus diletakkan, ada dendam yang mesti dilepaskan, ada ego yang perlu ditundukkan. Sebab, tahun baru tidak akan pernah benar-benar baru jika kita masih memikul beban lama dengan hati yang sama.

Apa yang perlu dan seharusnya kita lakukan? Pertama, berdamai dengan waktu yang telah berlalu—tanpa mengutuk, tanpa pula mengkultuskannya. Kedua, memulihkan niat: untuk hidup lebih jujur, lebih berguna, dan lebih manusiawi. Ketiga, mengingat kembali bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi tentang jejak yang kita tinggalkan pada sesama. Dan terakhir, menumbuhkan optimisme yang tidak naif: harapan yang disertai ikhtiar, doa yang disertai kerja, dan cita-cita yang disertai kesabaran.

Optimisme sejati bukan keyakinan bahwa semua akan mudah, melainkan kepercayaan bahwa semua bisa dijalani dengan makna. Tahun baru adalah janji terbuka—bukan jaminan. Ia menunggu untuk diisi, bukan untuk disesali. Maka marilah kita melangkah dengan hati yang lebih lapang, akal yang lebih jernih, dan jiwa yang lebih rendah hati.

Di ujung tahun ini, kita menunduk sejenak, memejamkan mata, dan berdoa:

Ya Allah, Tuhan Pemilik Waktu,

Ampuni hari-hari kami yang lalai,

Terimalah niat-niat kecil kami yang tulus,

Lapangkan dada kami menyambut hari esok,

Jadikan sisa umur kami lebih bermakna,

Lebih berguna bagi sesama,

Dan lebih dekat kepada-Mu.

Aamiin.


Share
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru