membuka-tabir-sejarah-irian-barat-di-tanah-perdamaian
Sunset Todore | Foto Aiya Lee
Membuka Tabir Sejarah Irian Barat di Tanah Perdamaian
By Evi Aryati Arbay
Wed, 26 Nov 2025

Keterlibatan Tidore pernah begitu penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia dan pernah menjadi Ibukota Provinsi Irian Barat, namun ungkapan itu seperti sebuah legenda belaka, karena kini terasa sulit sekali menemukan sisa-sisa kejayaan itu, sebagai anak bangsa yang haus belajar sejarah menelusuri Tidore menjadi satu tantangan sendiri, utamanya dalammenjawab kenapa Soekarno memilih Soasio-Tidore sebagai Ibukota Irian Barat kala itu.

Entah mengapa saya seperti “terpanggil” kembali mengunjungi Tidore, apalagi setelah membaca buku perjuangan “Herlina, si Pending Emas”, saya merasa perlu kembali menelusuri jalan-jalan sepanjang pulau Tidore, dengan harapan alam akan memberitahu saya jawaban mengapa Soekarno memilih Soasio sebagai Ibukota Irian Barat kala itu. Kali ini eksplorasi tidore saya ditemani oleh kolega saya Wisnu Kusuma Wardani, pemuda asal Semarang yang lama bertugas di Sanana dan kawan lama saya Aiya Lee, pemuda asli ternate yang menjabat wakil ketua komunitas Ternate Heritage Society (THS), jadi bisa dibilang kami ini generasi Kekinian yang masih haus belajar sejarah Bangsa dan Tidore menjadi salah satu yang bikin kami penasaran.  

Tidore dalam Sejarah Bangsa 

Maluku Utara (Malut) khususnya Tidore memiliki keterikatan khusus dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, terutama saat masa-masa pembebasan Irian Barat. Seperti yang pernah diungkapkan Abdul Gani Kasuba (AGK), Gubernur Maluku Utara. 


Menurut catatannya, sang proklamator datang ke Malut sebanyak dua kali pada rentang waktu 50-an. Kedatangan pertama Bung Karno bertujuan melakukan diplomasi kepada Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah agar Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Hubungan spesial antara Bung Karno dan Malut juga terlihat ketika Papua sudah dilepas Sultan Tidore untuk bergabung ke NKRI. Saat itu merupakan tahun-tahun yang sulit, saat Bung Karno ingin mempersatukan wilayah Indonesia dari barat sampai ke timur. 

Tahun 1961, Kerajaan Belanda telah memberikan kemerdekaan kepada Papua. 

Pemberian kemerdekaan itu yang kemudian memancing kemarahan Bung Karno, yang selanjutnya mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961. 


Bung Karno menganggap bahwa Belanda telah mengingkari isi Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yang akan mengakui wilayah Indonesia seluruhnya dari Sabang hingga Merauke.

Awalnya, Bung Karno mencoba secara diplomasi upaya pengembalian Irian Barat. Kemudian dilanjutkan dengan nasionalisasi asset Belanda hingga pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda pada tahun 1956.

Zainal Abidin berperan aktif sebagai seorang tokoh masyarakat yang juga sebagai tokoh politik ikut berbicara tentang status tanah Papua di Bali bersama Mr. Muhammad Yamin dan tokoh nasional lainnya. 

Tidak tinggal diam Muhammad Soleiman tokoh politik nasional asal Tidore menyampaikan kepada pemerintah pusat agar sesegera mungkin menetapkan Undang-Undang penetapan Propinsi Perjuangan Irian Barat.

Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 1956 Tanggal 16 Agustus 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasio-Tidore pun diluncurkan oleh Soekarno. 

Sultan Zainal Abidin Syah pun dilantik sebagai Gubernur Irian Barat pada tangal 23 September 1956. 

Diplomasi dan peran aktif Sultan Zainal Abidin Syah dalam perjuangan pengembalian Irian Barat (Papua) ke pangkuan Republik Indonesia semakin gencar.

Sultan Zainal Abidin Syah di tahun 1962 diundang PBB untuk membicarakan tentang tanah Papua, pertemuan dilaksanakan di puncak Malino Makasar bersama Belanda. 

Dalam pembicaraan itu mereka menawarkan tiga opsi kepada Sultan Tidore Zainal Abidin Syah, pertama; Tidore Papua mau merdeka, kedua; Tidore Papua mau ikut Belanda, dan ketiga; Tidore Papua kembali bergabung dengan NKRI.  

Sultan Tidore Zainal Abidin Syah memilih opsi yang ketiga Tidore Papua kembali bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada bulan Mei 1962 pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan tanah Papua (Irian Barat) ke pangkuan Negara kesatuan Republik Indonesia. 

Tahun 1963, ibu kota Propinsi Irian Barat di Soasio Tidore dipindahkan ke daratan tanah Papua (Irian Barat) yang beribu kota di Soekarno Pura (Jayapura sekarang). 

Sejarah keterkaitan Tidore dengan Irian Barat juga dituturkan oleh Sultan Tidore di tahun 2017, Husain Syah. 

Dirinya menceritakan secara jelas sejarah Papua yang menurutnya istilah itu berasal dari Bahasa Tidore. 

“Orang sering tertukar mengartikan Papua dari Bahasa Tidore yang artinya Papa ua. Arti dari istilah itu adalah tidak memiliki ayah atau orang tua. Padahal yang benar ialah Papo ua, yang berarti tempat yang jauh,” ujarnya.

Bagi orang-orang Tidore dahulu, Pulau Papua merupakan pulau yang jauh saat berlayar. Meskipun tercatat armada Tidore pernah tiba di Kepulauan Pasifik, namun bagi orang-orang Tidore tanah Papua menjadi daerah yang jauh di seberang lautan. 

Lantas sebutan Irian sendiri ternyata berasal dari istilah Arab, Ar-Rayan, yang berarti Tanah Surga. Dengan sumberdaya alam dan panorama yang indah, Irian memang laksana penggalan surga yang jatuh ke bumi. 

Kesultanan Tidore yang berjaya pada masa pemerintahan Sultan Nuku, menurut berbagai sumber pernah mengangkat bala tentara laut asal Biak yang dipimpin oleh Gurabesi. 

Karena ketangguhan dan kecakapannya dalam memimpin perang laut, akhirnya Gurabesi dan pengikutnya diberikan tempat di daerah Raja Ampat.

Berdasarkan kisah itu, sejak masa Sultan Nuku hingga Bung Karno, sejarah Papua begitu erat dengan Tidore. Maka dari itu, Sultan Tidore saat ini juga dianggap sebagai Bapak oleh orang-orang Papua.

Ikatan erat Papua dengan Tidore turut diamini oleh Freddy Numberi, Birokrat asal Papua yang juga salah satu Senior dan Cendikiawan Papua yang dihormati ini mengatakan dalam wawancara per telpon “Ikatan Papua dan Tidore itu memang terbukti dengan adanya penggunaan bahasa melayu Papua disekitaran wilayah pesisir seperti Dobo, Raja Ampat, Kaimana dan sekitarnya lalu Belanda melihat dan menyakini bahwa salah satu strategi mempersatukan wilayah pesisir Papua yakni dengan Bahasa Melayu sehingga Belanda mendirikan Sekolah Peradaban di Papua dengan menggunakan Bahasa Melayu, itu terjadi 17 tahun sebelum Sumpah Pemuda 1928.” 

Sisa Peninggalan 

Jujur tidak mudah bagi Saya menemukan sisa-sisa peninggalan sejarah jika tidak pernah sama sekali membaca buku, bayangkan dari puluhan orang yang saya temui, mulai dari remaja usia sekolah, pekerja kantoran baik swasta maupun pemerintah daerah bahkan militer tak banyak yang tahu bahwa Tidore pernah menjadi Ibukota Irian Barat. 

Sehingga tak heran di era modern saat ini, jejak sejarah perebutan Irian Barat di Bumi Tidore seakan sulit ditemui, dengan begitu sulitnya menemukan jejak Bukti sejarah hanya berdasarkan dari cerita-cerita orang tua yang bertutur jika Ibukota Irian Barat berada di Soasio. 

Saat itu kantor gubernurnya adalah gedung yang saat ini ditempati SMA Negeri 1 Tidore. Tak jauh dari situ, terdapat bekas Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) Irian Barat yang mengumandangan berita tentang perjuangan Irian Barat. 

Di depan kantor RRI terdapat jalan menuju dermaga kesultanan, yang merupakan dermaga tempat Sultan Tidore mengantar misionaris Spanyol yang menuju Irian Barat. 

Dekat pelabuhan tersebut juga terdapat bekas percetakan negara, saat ini berdiri Sekolah Taman Kanak-Kanak.

Sedangkan kantor Polda Irian Barat berada di gedung yang kini ditempati Mapolres Tidore saat ini. Sejumlah bangunan tempat tinggal pejabat Polisi di Tidore sekarang pun merupakan bekas rumah polisi Provinsi Irian Barat, yang dibangun sejak tahun 1960.

Sementara itu, kediaman Gubernur Irian Barat pertama kali, Zainal Abidin Syah, hingga sekarang masih bisa ditemui di kelurahan Tomagoba. Meskipun kini dengan kondisi yang memprihatinkan. Bangunan tersebut dibangun pada 1956/1957. 

Dimana pada masa itu, merupakan masa perebutan Irian Barat. Pemerintah Kota Tidore tengah melakukan pemugaran bangunan untuk menjadi bagian bangunan bersejarah Tidore, setelah berkomunikasi dengan ahli waris pemilik bangunan tersebut. 

Selain sisa peninggalan berupa bangunan sejarah, kehadiran sosok penjahit bendera Merah Putih di Tidore bernama Aminah Sabtu tidak bisa diabaikan. 

Sosok bernama Nenek Na ini bisa dibilang sebagai Ibu Fatmawati-nya Tidore. 

Saat Indonesia diproklamasikan merdeka di Jakarta pada 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia, tak banyak daerah di belahan timur Indonesia yang berani mengibarkan Merah-Putih, termasuk di Tidore. 

Tepat setahun kemudian, 18 Agustus 1946, di Tidore berkibar Merah-Putih untuk pertama kalinya. Amina Sabtu terlibat dalam upaya mengibarkan bendera Indonesia itu bersama beberapa pemuda, yang satu di antara adalah sepupunya, Abdullah Kadir. Dan, yang menjahit bendera itu adalah Amina, atas permintaan Abdullah.

Bendera Merah-Putih itu sudah berkibar di Tidore sekitar pukul 04.00 waktu setempat. Bendera itu diikat di tiang bendera dari bambu sederhana di Tanjung Mareku, kurang-lebih 500 meter dari rumah Amina. 

Di tengah tiang bambu itu diletakkan pula peringatan dalam satu kalimat bernada tegas: “Barangsiapa yang berani menurunkan bendera ini, maka nyawa diganti nyawa”.

Saat itu, pengibaran bendera Merah-Putih itu sama artinya dengan memproklamasikan Tidore dan Kepulauan Maluku menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri. 

Sebenarnya, bendera Merah Putih itu direncanakan akan dikibarkan oleh para pemuda di Jembatan Residen.

Namun, ternyata lokasi tersebut sudah dijaga ketat oleh tentara Belanda. Abdullah Kadir akhirnya mencari lokasi pengganti untuk mengibarkan bendera Merah-Putih tersebut. Dipilihlah di pinggir jalan Tanjung Mareku.

Berita pengibaran Bendera Merah Putih di Tanjung Mareku itu dengan cepat tercium tentara Belanda. Sepasukan tentara Belanda kemudian mendatangi lokasi pengibaran bendera, namun tidak ada yang berani menurunkan bendera Merah Putih yang berkibar itu. 

Tentara Belanda hanya mencari dan menangkap pemuda-pemuda yang dicurigai sebagai penggerak dan inisiator peristiwa tersebut, termasuk Abdullah Kadir dan Amina. 

Mereka dibawa ke markas tentara Belanda dan disiksa sampai babak belur. Mereka baru dilepaskan setelah ada intervensi dari pihak Kesultanan Tidore.

Lantas darimana Amina mencari benang dan kain berwarna merah dan putih untuk dijadikan bendera? Kedua kain itu adalah kain penutup peti penyimpanan perangkat tari, yang biasanya digunakan untuk upacara tradisi masyarakat Tidore, Salai Jin.

Benangnya Amina membuat sendiri dari serat daun buah nenas. Dia menjahit bendera di ruang tamu rumahnya. Bahkan sampai menunggu kedua orang tuanya pergi ke kebun terlebih dahulu sebelum mulai menjahit.

Pada tahun 2009, sejumlah tokoh adat, akhirnya bisa memperjuangkan mewujudkan pembangunan tugu pengibaran bendera itu. Dan kini selalu menjadi lokasi pengibaran bendera saat memperingati kemerdekaan Indonesia. 

Sayangnya, kini bendera hasil jahitan Nenek Na pun entah kemana rimbanya. Padahal benda ini bisa jadi pusaka sangat bersejarah tak hanya bagi Tidore atau Maluku, tapi juga Republik Indonesia. Boleh jadi inilah bendera Merah Putih pertama yang berkibar di kawasan timur Indonesia.

Peran Generasi Muda 

Kini sudah berdiri satu komunitas pegiat pusaka, namanya Ternate Heritage Society (THS). Komunitas ini berdiri sejak tahun 2009 dan kini telah memiliki kurang lebih 20 pengurus. 

THS lahir dari kecemasan terhadap butanya wawasan pusaka di kalangan orang Ternate dan anak muda pada khususnya. THS percaya, sejarah besar Indonesia berakar dari peran Ternate-Tidore pada era kedatangan Eropa. 

Komunitas ini diketuai oleh Didith Prahara dan Aiya Lee selaku wakilnya berupaya menumbuhkan rasa keingintahuan para generasi muda dan masyarakat umum yang ada di Ternate untuk lebih peduli dan mengenal sejarah wilayah yang memiliki pengaruh yang besar ini. 

Setiap bulan, THS mengadakan tur tematik menyusuri cagar budaya Ternate dengan jalan kaki. Sesekali THS mengadakan diskusi pusaka, dan tur istimewa di bulan Desember dengan mengunjungi makam Sultan Baabulah, pahlawan nasional yang berjasa mengusir Portugis dari Ternate selamanya. Desember sendiri dikenang sebagai Hari Jadi Ternate.

Selain tur bulanan, THS juga menggelar Festival Pusaka Ternate setiap tahun. Festival ini menyuguhkan konsep hiburan dan edukasi pusaka serta sejarah kepada pengunjung yang datang. 

Dalam Festival Pusaka Ternate, banyak seniman berkolaborasi menampilkan pertunjukkan musik, tarian, pameran lukisan, teater kolosal, hingga permainan tradisional. 

“Melalui cara-cara sederhana, kami berupaya menumbuh kembangkan kecintaan dan keperdulian masyarakat akan Sejarah, Budaya dan Tradisi yang ada di Bumi Ternate ini dan Festival Pusaka Ternate ini murni inisiatif THS dan bukan bagian dari program pemerintah daerah”. Ujar Aiya Lee, sang Wakil ketua THS. 

Aiya juga mengatakan minimnya Literatur menjadi tantangan tersendiri bagi komunitasnya dalam mengajak dan membentuk kepedulian masyarakat sehingga Ia sangat berharap adanya perhatian dari Pemerintah Kota Ternate akan eksistensi komunitas sejarah seperti THS ini “Kami sangat siap untuk Bersinergi dan Berkolaborasi dengan Pemkot Ternate untuk bersama membangun slogan Ternate sebagai kota sejarah, kota rempah, dan kota budaya”.

Bergeser ke Tidore, sejatinya belum ada komunitas serupa THS di sana, Namun, orang-orang Tidore yang ada di Ternate membuat perhimpunan besar yang kemudian mereka sebut sebagai “Garda Nuku”, sebuah perhimpunan yang mencoba memperkenalkan kembali kejayaan Tidore di masa lampau.

Jumlah anggota Garda Nuku jauh lebih besar dari THS, tetapi belum memiliki program unggulan yang konsisten digelar seperti layaknya THS. 

Bicara tentang Papua, Garda Nuku-lah yang kerap vokal menyuarakan perdamaian dengan Papua. Hal ini tidak lepas dari jejak historis antara Tidore dan Papua. (Earbay). 


Share
Deheng event
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru