kidung-hening-tanjung-putin
Salah satu anak orang utan di kawasan Tanjung Putin | Dok Valentino Luis
Destination
KIDUNG HENING : Tanjung Putin
Valentino Luis
Tue, 02 Aug 2022

Suaka melegenda bagi orangutan Kalimantan, dengan perjalanan naik kapal kayu menyusuri sungai sehitam air tinta.

Setelah 30 menit meninggalkan Kota Pangkalan Bun, bus menurunkan kami di Dermaga Kumai. Saat itu pukul 21.00 malam. Dari gerbang dermaga yang tampak masih baru, saya bisa melihat kapal-kapal kayu berayun di atas sungai. Usai mengurusi dokumen, kami bergegas menuju kapal-kapal tersebut. Dua di antaranya ternyata telah menunggu kami.

Ini merupakan satu bagian dari rentetan perjalanan kami di Kalimantan Tengah. Terdapat hampir dua puluhan orang dalam grup kami, terdiri atas grup penulis dan grup perwakilan agen wisata. Kami diundang oleh Forum Tata Kelola Pariwisata (FTKP) yang didukung pemerintah daerah serta lembaga pengembangan destinasi SwissContact Wisata, dengan misi menjelajahi tempat-tempat menarik.

Malam ini, usai beberapa hari masuk rimba belantara yang dijaga Suku Dayak Tomun, giliran kami hendak dibawa menuju Tanjung Puting, sebuah taman nasional yang didedikasikan bagi satwa Kalimantan, khusunya orangutan. Bertahun-tahun saya mengimpikan perjalanan ke Tanjung Puting, sehingga ketika mendapatkan undangan dari FTKP dan SwissContact Wisata serasa menang lotre!

Agar sampai ke kawasan konservasi Tanjung Puting, satu-satunya moda yang digunakan adalah klotok (kapal motor dari kayu). Sebagaimana diketahui, Kalimantan merupakan surganya sungai. Dari zaman dahulu klotok menjadi transportasi andalan untuk menjangkau wilayah-wilayah yang terpisahkan sungai.

Klotok kami, untuk grup penulis, dipandu Pak Bowo, seorang yang sangat antusias. Dari kalimat-kalimat ramahnya menyambut kami, tidak butuh waktu lama bagi saya menyadari bahwa ia sangat berpengalaman dan mengenal baik seluk beluk Tanjung Puting. ‘’Sudah dua puluh tujuh tahun Pak Bowo keluar masuk Tanjung Puting,” bisik Mas Dwi, pendamping kami.

Saat klotok melaju di bawah malam gulita, saya merasakan letup sensasi perjumpaan nyata yang akan saya alami dengan orangutan di habitat aslinya, seperti riak-riak keperakan Sungai Kumai.

Liku-Liku Sekonyer

Mesin klotok tiba-tiba dimatikan dan kami berhenti melaju. Rupanya sudah tengah malam. Kami telah berpindah dari Sungai Kumai yang lebar ke Sungai Sekonyer yang lebih sempit, menyerupai kanal. Di muara ini kami bermalam, tetap di atas klotok. Kiri kanan sungai dijejali pohon nipah (Nypa frutican), sepintas mirip pohon salak, berjejer sepanjang sungai ke timur. Pak Bowo telah berhenti bercerita dan tidak ada lagi suara yang terdengar selain semilir angin. Tidur saya pun amat pulas.


Esok paginya, kami bangun lebih awal. Kasur dan kelambu dirapikan, diganti dengan meja serta kursi. Sarapan berupa nasi goreng, roti, kopi, dan buah-buahan terhidang. Saya kerap bermalam di atas laut. Sebenarnya pengalamannya sama bila tidur di kapal, tetapi rasanya agak beda melakukannya di atas sungai yang dibekap hutan. Lebih syahdu, hening, romantis.

Taman Nasional Tanjung Puting memiliki sejumlah pintu masuk yang disebut camp, baik di kiri maupun kanan Sungai Sekonyer. Tiap camp menyediakan feeding station atau tempat memberi makan orangutan. Menurut Pak Bowo, semua orangutan benar-benar bebas berkeliaran di area taman nasional seluas 3,040 km persegi ini.

Hanya pada jam-jam tertentu petugas akan memanggil mereka makan di feeding station. Itu pun tanpa paksaan. Orangutan dibebaskan bepergian ke mana pun semaunya untuk mencari makanan sendiri. ‘’Karena orangutan dibiarkan bebas, kita tidak bisa bersua mereka dalam jumlah yang pasti saat berkumpul di feeding station,” ujar Pak Bowo menerangkan.

Mendekati Camp Tanjung Harapan, kami bertemu orangutan pertama, bergelayut sendirian di batang pohon. Orangutan tidak hidup dalam kelompok, Mereka hewan semi-soliter, tidak seperti kera atau simpanse. Orangutan jantan selalu memisahkan diri dan yang betina biasanya hanya ditemani beberapa anaknya yang masih kecil.  Mereka juga digolongkan hewan arboreal, yakni beraktivitas di atas pohon. Sedangkan gorilla dan simpanse adalah hewan terrestrial, hidup di tanah.

Kami tidak mampir di Camp Tanjung Harapan. Sasaran kami adalah Camp Leakey yang paling ujung. Meskipun jauh dan klotok tidak melaju secepat sekoci, saya sangat menikmati lika-liku jalur Sungai Sekonyer.

Usai melewati Tanjung Harapan, Sungai Sekonyer terbelah menjadi dua lintasan dengan warna berbeda. Klotok berbelok ke lintasan sebelah kanan dengan air sungai berwarna hitam legam seperti tinta. Belum pernah saya jumpai sungai seperti ini. ‘’Warna hitamnya bukan karena polusi, tapi berasal dari kayu serta dedaunan yang mengendap di dasar sungai berpuluh hingga ratusan tahun,” kata Pak Bowo menerangkan.

Jalur sungai berair pekat ini dijuluki ‘’Black River’’ oleh penjelajah asing. Tampak menakjubkan sekaligus menyeramkan, apalagi vegetasi berubah lebih didominasi pohon-pohon tinggi menjulang rimbun dan liar, nyaris menutupi awan.

‘’Nanti malam, sepulang dari Camp Leakey, kita menginap di jalur sungai hitam ini. Kalau bangun pagi-pagi, suasana sangat mistis karena sepanjang sungai terlingkupi kabut dan satwa-satwa akan berkidung dalam keheningan,” Mas Dwi berkata.

Uh, dia tahu apa yang saya bayangkan.

Mencari Tom

Kami tiba di Camp Leakey. Pengunjung sudah banyak di sini, padahal sepanjang perjalanan tadi kami hanya berpapasan dengan segelintir klotok. Sepertinya Camp Leakey adalah camp paling difavoritkan. Selain apik, tempat inilah yang mula-mula sekali menggagas konservasi orangutan sejak 1971 dan menjadi semacam sanctuary bagi peneliti dari berbagai belahan dunia.

“Selain itu, karena di sini ada Tom, orangutan jantan paling dominan di seluruh wilayah Taman Nasional Tanjung Puting. Ia adalah raja, penguasa segala orangutan di sini,” Pak Bowo menjelaskan lagi.

Kehidupan orangutan bagaikan kerajaan, primata terkuat dan paling berwibawa akan mengusai teritorial. ‘’Jika Tom muncul, semua akan menyingkir jauh,” kata Pak Bowo sungguh-sungguh.

Trek jalan kaki di Camp Leakey terdiri atas jembatan kayu melalui zona mangrove, lalu dilanjutkan dengan rute-rute menembus hutan dalam jumlah amat banyak. Kami singgah di pusat informasi sekaligus mini museum untuk mengetahui seluk beluk tempat ini serta bagaimana konservasi orangutan bermula. Gerimis tidak menghalangi kami menuju feeding station demi bersua Tom, si raja orangutan.

Sayang, hari itu Tom tidak tampak. Menurut staf Orangutan Foundation (pengelola Camp Leakey), Tom sedang mengembara di wilayah selatan. Toh, saya bisa melihat dengan dekat bagaimana orangutan berdatangan dari berbagai arah saat hidangan berupa pisang dan tebu ditebar. Menyaksikan bagaimana mereka menjalani kehidupan dengan bebas di hutan ini, jelas jauh lebih baik ketimbang menonton dari balik kandang kebun binatang di kota-kota.

Kami meninggalkan Camp Leakey dan bergerak pulang ke arah semula. “Besok siapa tahu kita bertemu Tom di Camp Pondok Tanguy,” kata Pak Bowo. Sekonyong-konyong saya jadi terobsesi untuk mencari Tom.

Seperti diuraikan Mas Dwi, klotok kami akan bermalam di Black River, dekat Camp Pondok Ambung. Pak Bowo menjanjikan untuk membawa kami melakukan petualangan malam, night trekking, mencari satwa-satwa nocturnal seperti tarantula, tarsius, kelelawar, burung-burung, dan rusa.

Saya tidak sabar menunggu malam tiba, juga ingin bangun subuh melihat kabut membuntal Sungai Sekonyer sembari mendengar kidung memecah hening.


*Pernah dimuat di Majalah Lionmag edisi Januari 2018


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru