Titimangsa bersama Bakti Budaya Djarum Foundation menggelar pementasan bertajuk ‘Sang Kembang Bale: Nyanyian yang Kutitipkan pada Angin’ di NuArt Sculpture Park, Bandung, 10-11 Agustus 2024. Dalam produksi ke-79 ini, Titimangsa kembali mengemas apik seni pertunjukan klasik yang kali ini terinspirasi dari tradisi ronggeng gunung.
Ronggeng gunung sendiri merupakan kesenian tradisi khas daerah Ciamis dan Pangandaran. Kesenian tersebut kini tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Pertunjukan dipentaskan di area terbuka di Kota Bandung. Menyuguhkan kidung, tari, dan drama ronggeng gunung. Ariel Tatum hadir sebagai penampil tunggal. Aksi panggungnya diiringi empat penari dan tiga pemusik. Kolaborasi kreatif mereka berpadu, menghidupkan kembali nilai-nilai budaya adiluhung ronggeng gunung.
Sang Kembang Bale berkisah tentang kehidupan seorang ronggeng (Kembang Bale) di Panyutran, sebuah kampung di Padaherang. Seorang Kembang Bale terlahir dari perih kehidupan masa kecilnya. Memasuki masa remaja, ia terpilih oleh para ronggeng gunung sepuh untuk menjadi penerus sebagai ronggeng sejati.
Kemiskinan mendorongnya untuk memasuki dunia ronggeng. Namun, dunia yang kemudian menghidupi jiwanya itu semakin hari semakin menariknya untuk lebih dalam memaknai bagaimana semestinya sikap seorang ronggeng (kembang bale).
Dalam monolog ini, segala kegelisahan, konflik batin, ketakutan, keinginan, dan harapan sang Kembang Bale ditampilkan bersama dengan tembang-tembang ronggeng gunung. Di sini penikmat seni dapat menyaksikan sekaligus merasakan secara langsung bagaimana sang ronggeng juga adalah manusia, yang seringkali meragu tapi tetap berusaha lurus dalam pilihannya -- menjadi perempuan terpilih yang dicintai sekaligus disegani di masyarakatnya.
“Mengangkat tema ronggeng gunung berdasarkan biografi pelaku atau pewaris ronggeng gunung ke panggung pertunjukan, Sang Kembang Bale adalah salah satu alternatif menghidupkan kembali relasi nilai-nilai dan relasi interaksi manusia dengan manusia, alam dan penciptanya,” ungkap Heliana Sinaga, sutradara Sang Kembang Bale.
Ia berharap, penggambaran alur, gerak, musik dan lagu yang dibawakan Ariel Tatum dan seluruh tim yang terlibat dapat menjadi arsip kebudayaan yang diserap melalui pengalaman menonton yang berbeda.
Kenangan, Kegelisahan, Harapan. Penulis Toni Lesmana dan Wida Waridah yang berasal dari Ciamis dipercaya menulis naskah pertunjukan. Proses penulisan naskah Sang Kembang Bale ini diawali dari hasil wawancara langsung dengan pelaku kesenian ronggeng gunung yakni Bi Pejoh, Bi Raspi, juga Mang Sarli.
Penggalian dari pengalaman mereka selama menekuni sekaligus melestarikan kesenian ronggeng gunung, khususnya di daerah Panyutran, Pangandaran, memunculkan hal baru yang cukup menarik.
“Berangkat dari itulah, kami mencoba saling mengisi untuk rancang bangun kisah dan adegan tokoh Sang Kembang Bale. Memadukan hasil wawancara yang nyata dan kerja imajinasi yang fiksi,” tutur Wida.
Melalui jalinan kisah seorang perempuan yang yakin dan setia dengan jalan yang dipilihnya, dimana sang tokoh sedang menuju puncak popularitas, Titimangsa mencoba menghadirkan kenangan, kegelisahan dan harapan yang termanifestasi dalam karakter tokoh Sang Kembang Bale.
“Tentunya dengan memasukkan unsur-unsur tradisi yang kami rasa penting kehadirannya dalam kesenian ronggeng gunung,” jelasnya.
Toni Lesmana menjelaskan, serangkaian ritual, pakem lagu, dan tarian yang mereka kemas kali ini merupakan salah satu upaya agar naskah monolog yang fiksi ini juga bisa menjadi, setidaknya, serpih dokumen tentang kesenian ronggeng gunung.
“Naskah Sang Kembang Bale pada akhirnya sebagai bentuk persembahan rasa cinta kami pada keseniannya, juga untuk bakti kesetiaan para senimannya melestarikan peninggalan leluhur mereka.”
Sebagai koreografer pertunjukan, Rachmayati Nilakusumah sejatinya penari yang pernah mendalami tari ronggeng gunung. Ia berguru kepada dua maestro, Bi Raspi dan Bi Pejoh. Baginya, ronggeng gunung adalah tarian purba yang banyak filosofi hidupnya.
“Berbeda dengan tarian-tarian yang ada di Jawa Barat, gerakan tari utama ronggeng gunung adalah kaki. Dalam bahasa Sunda kita kenal dengan istilah ‘sareundeuk saigel’ atau ‘seirama segerakan’. Nah, dalam tarian Ronggeng Gunung kalau kita salah irama atau salah gerakan kita akan terinjak oleh orang lain. Jadi penting sekali kebersamaan,” kata Rachmayati.
Mencegah Punah, Mengkonservasi Pengetahuan. Selaku produser, Pradetya Novitri sesungguhnya sudah mengagendakan pertunjukan ini sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, kesenian ronggeng gunung perlu diperlihatkan kepada banyak orang mengingat kondisinya yang hampir punah.
“Saat ini, pelakunya hanya tinggal dua orang. Sangat sayang kalau kita tidak meneruskannya kembali,” cetusnya.
Selain itu, lanjut Pradetya, pementasan ini juga bertujuan untuk mengkonservasi pengetahuan tentang kesenian ronggeng gunung. Mereka melakukan riset ke tempat kelahiran kesenian ronggeng gunung. Termasuk membawa pemain, pemusik dan penari yang berasal dari generasi muda untuk langsung belajar kesenian tersebut kepada para pelakunya.
“Harapannya dengan ini, nyanyian, musik dan tarian yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, lebih panjang lagi napasnya,” ujarnya.
Menjadi seorang penari ronggeng gunung tidak hanya dituntut untuk mampu menari dengan apik, namun juga menyanyi, bermain, dan menciptakan komposisi musik serta lirik secara langsung. Dan, momen ini menjadi yang pertama kalinya bagi Ariel Tatum bermain monolog di atas panggung.
Tantangan utama yang paling dirasa Ariel adalah belajar cengkok dalam menyanyikan lirik lagu. Namun, setelah belajar langsung dengan Bi Pejoh dan penyanyi dari tim Swarantara, Ariel mampu menguasai tekniknya.
“Rasanya sungguh penuh haru, seperti udara segar yang baru,” kata Ariel.
“Ronggeng Gunung adalah sebuah kemagisan dari leluhur kita sendiri, jadi memang hanya kita yang bisa meneruskan itu semua,” tambahnya.