kapan-awal-dari-penderitaan-seorang-anak
| ilustrasi - Foto Makhfud Sappe
Kapan Awal dari Penderitaan Seorang Anak?
By Burhanuddin Bella
Wed, 18 May 2022

Anggi pergi dulu, ya pa. Itulah kalimat berikutnya dan yang terakhir sebelum dia pergi meninggalkan kita semua.

Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA *



Hal yang paling saya ingat ketika merawat Anggi adalah teriakannya karena nyeri hebat yang ia rasakan pada pahanya akibat terkena kanker tulang atau lazim dikenal dengan istilah osteosarkoma. Gadis remaja ini sebenarnya sudah terdiagnosis jauh-jauh hari sebelum akhirnya bertemu dengan saya. Bahkan orangtuanya sudah membawa Anggi ke Singapore untuk meminta pendapat kedua dari dokter di sana. Ternyata jawaban semua dokter sama, termasuk dokter yang di Singapore, kaki Anggi harus diamputasi.

Malang bagi anak perempuan ini karena pada saat bertemu saya, kankernya sudah menyebar ke paru. Berunding dengan tim dokter, akhirnya diputuskan bahwa tujuan penanganan Anggi  bukan lagi untuk mengobati, namun paliatif. Bentuk paliatif yang utama bagi Anggi saat itu adalah tata laksana gejala. Sebagai dokter, kami akan berusaha untuk mengurangi, bahkan kalau memungkinkan, menghilangkan nyeri hebat yang dirasakannya. Morfin sudah diberikan, namun tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan. 

Di suatu hari, rumah sakit kami kedatangan Dr. Terawan yang memberi presentasi tentang pemanfaatan kemoterapi intra-arterial yang terbilang baru pada saat itu di Indonesia. Melihat perkembangan penyakit Anggi, tim dokter merasa harus memberikan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi penderitaannya, termasuk dengan menggunakan metode yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu kemoterapi intra-arterial.

Saya segera menghubungi Dr. Terawan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD-GS) dan segera melakukan segala persiapan yang dibutuhkan, termasuk mengurus Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat yang berlaku saat itu. Pada hari yang telah ditentukan, Anggi kami bawa dengan ambulans ke RSPAD-GS.

 Sesampaiknya di sana, Anggi langsung ditindak dengan memasukkan obat kemoterapi melalui pemburuh darah yang terletak di daerah paha yang sehat. Obat kemoterapi diarahkan ke paha yang terkena kanker dan penyebarannya di paru. Tujuannya sekali lagi bukanlah untuk menyembuhkan, namun untuk mengurangi nyeri di lokasi kanker dan agar penyebarannya di paru tidak sampai menyebabkan Anggi mengalami sesak napas.

Hasilnya memuaskan. Anggi tidak lagi teriak-teriak karena kesakitan dan tidak pernah menunjukkan gejala sesak napas. Keadaannya yang membaik membuat tim dokter mengizinkan Anggi pulang karena memang tidak ada lagi tindakan medis yang dapat dilakukan. Anggi tetap dianjurkan minum obat anti nyerinya dan mulai mempersiapkan tata laksana akhir kehidupan bagi dirinya dan orangtuanya. 

Sebelum pulang ke rumah, saya menanyakan apakah Anggi memiliki suatu keinginan atau cita-cita yang belum tercapai. Ia mengatakan kalau ingin sekali mengunjungi Australia dan berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan orang Australia. Mengingat kondisinya yang tidak mungkin lagi untuk berjalan, sudah pasti Anggi tidak dapat melakukan penerbangan ke Australia. Makanya saya dan seorang teman dari bagian paliatif berusaha mencoba mewujudkan apa yang Anggi cita-citakan tersebut.

Kami mulai dengan menghubungi seorang teman, warga negara Australia, yang kebetulan suaminya ditugaskan di Indonesia. Ibu ini dengan senang hati mau membantu kami dengan mengunjungi Anggi di rumahnya. Selain mengajak anak-anaknya, teman kami juga membawa boneka kangguru dan koala yang merupakan hewan khas Australia, berikut foto-foto atau gambar-gambar yang ada kaitannya dengan Australia. Jadi, ceritanya kami mau membawa suasana Australia ke rumah Anggi.

Anggi sangat menikmati pertemuan yang kami rancang. Terlihat dari senyum yang selalu menghiasi wajahnya yang tirus. Percakapannya dengan teman kami dan anak-anaknya sangat menarik. 

Sebetulnya Anggi tidak dapat berbahasa Inggris, namun dia berusaha semaksimal mungkin, dengan pengetahuan bahasa Inggrisnya yang terbatas, meladeni kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh si ibu dan anak-anaknya. Inilah yang terbaik yang dapat kami berikan untuk Anggi sebelum akhirnya nanti dia menghadap yang Kuasa.

Sejak di rumah, Anggi cuma satu kali kembali ke rumah sakit untuk menjalani kemoterapi intra-arterial di RSPAD-GS. Setelah selesai, ia kembali pulang ke rumah. Kalau diperhatikan, selama di rumah sakit ia selalu ditemani oleh sang ayah karena sang ibu sedang hamil adiknya Anggi. 

Alasan lain karena ayah Anggi merasa bertanggungjawab terhadap penderitaan yang dialami anaknya saat ini. Ia menyesal mengapa dari dulu ia tidak mengikuti anjuran dokter untuk segera mengamputasi kaki sang anak. Guna menebus kesalahannya, ia bertekad untuk selalu berada dekat anaknya sampai akhir. Itulah mengapa sang ayah selalu ada di rumah, sementara istrinya yang bekerja.

Tekad ayah Anggi untuk selalu berada dekat dengan anaknya sampai akhir hidupnya terwujud. Sebelum Anggi menghembuskan napasnya yang terakhir, sang ayahlah yang mendampinginya. Tahap demi tahap akhir perjalanan hidup Anggi dia ceritakan dengan lancar ketika saya bertemu dengan sang ayah di rumah duka. 

“Waktu itu saya baru selesai memandikan Anggi, tiba-tiba Anggi memanggil saya dan mengatakan kalau dia tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya terlihat gelap katanya. Saya merasa bahwa inilah akhir perjalanan anak saya di dunia. Ayat-ayat dari Alkitab saya bacakan dan lagu-lagu rohani saya nyanyikan. Setelah beberapa lama, Anggi mengatakan ia melihat cahaya yang sangat terang di hadapannya. Saya suruh dia berjalan menuju arah cahaya yang dilihatnya. Terus Anggi bilang, kalau Anggi ikut cahaya itu nanti papa tinggal sendiri. Papa nggak apa tinggal sendiri? Saya bilang ke Anggi kalau dia tidak usah takut papanya sendiri karena nanti kan ada mama yang menemani dan sebentar lagi juga adikmu akan lahir. Anggi pergi dulu, ya pa. Itulah kalimat berikutnya dan yang terakhir sebelum dia pergi meninggalkan kita semua. Anggi pergi dengan damai dan tidak menderita di akhir hidupnya. Saya yakin dia sudah bahagia karena saya melihat dia tersenyum. Terima kasih, ya dok sudah membuat Anggi bahagia di akhir-akhir hidupnya.” 

Sebelum meninggalkan rumah duka, ayah Anggi menyampaikan pesan kepada saya untuk disampaikan kepada semua orangtua dari anak-anak yang terkena kanker. Pesannya, “Penderitaan seorang anak berawal dari kekhawatiran orangtua yang berlebihan. Coba seandainya saya nurut kata dokter dan mengizinkan Anggi diamputasi. Mungkin Anggi sekarang masih ada, walaupun kakinya cuma tinggal satu. Penyesalan memang selalu datang terlambat dan kita tidak akan pernah bisa mengubah apa yang telah terjadi.”

Pembelajaran di balik kisah: 

Sekalipun dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tindakan medis yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan penyakit dari seorang anak yang terkena kanker, tetap masih ada yang bisa dilakukan untuk mereka, yaitu pelayanan paliatif. Orangtua biasanya sering bertanya, ”Berarti anak saya sudah tidak punya harapan lagi, ya dok?”

Saya selalu menjawab, ”Anak bapak dan ibu bukannya tidak ada harapan, namun harapan itu yang harus diubah. Harapan yang tadinya ingin sembuh kiranya dapat diubah menjadi saya tidak mau anak saya menderita di akhir hidupnya.”

Itulah yang tim dokter lakukan terhadap Anggi. Selama Tuhan masih mempercayakan napas kehidupan kepadanya, kami harus pastikan Anggi mempunyai kualitas hidup yang baik. 

Bersyukur Anggi dapat menikmati hidupnya di fase ini tanpa nyeri dan cita-citanya dapat kami wujudkan. Saat waktunya Tuhan tiba, kami juga harus memastikan Anggi memiliki kualitas kematian yang baik. Lagi-lagi kami bersyukur karena menjelang akhir hidupnya, Anggi tidak mengalami sesak napas akibat penyebaran sel kankernya ke paru dan bisa menjalani bersama dengan sang ayah yang setia mendampinginya.

* Dokter Rumah Sakit Pusat Kanker Dharmais, Jakarta
Pernah dimuat di Harian Nasional Edisi 07 Oktober 2021
Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru