julini-tak-pernah-mati-dari-indonesia-kita-untuk-teater-koma
Pentas ke-33 Indonesia Kita bertajuk Toean Besar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 20-21 September 2019. | DOKUMENTASI LIONMAG/FILE/BAYU INDRA K
Art & Culture
Julini tak Pernah Mati: dari Indonesia Kita untuk Teater Koma
Devy Lubis
Tue, 13 Jun 2023
Seniman Butet Kartaredjasa memberikan penghormatan pada maestro seni teater Indonesia Nano Riantiarno. Ia bersama Agus Noor mengemas ulang salah satu karya monumental pendiri Teater Koma itu, berjudul 'Opera Kecoa', pada pementasan ke-39 Indonesia Kita di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16-17 Juni 2023.

Dunia panggung teater Indonesia mengalami kehilangan besar pada 20 Januari 2023. Sutradara ternama Nano Riantiarno tutup usia. Pendiri Teater Koma ini meninggalkan banyak karya yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah teater Tanah Air.

Karena itulah, Indonesia Kita dan Bakti Budaya Djarum Foundation mengangkat salah satu karya Teater Koma yang ditulis Nano Riantiarno, Opera Kecoa. Karya ini kemudian dikembangkan penulis dan Direktur Artistik Indonesia Kita Agus Noor menjadi pementasan bertajuk Julini Tak Pernah Mati.

Julini Tak Pernah Mati diproduksi oleh Kayan Production. Pementasan ke-39 Indonesia Kita ini akan dilangsungkan di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 16-17 Juni 2023.

Para pemain yang akan tampil adalah Butet Kartaredjasa, Rangga Riantiarno, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Sri Krishna Encik, Sruti Respati, Jajang C. Noer, Netta Kusumah Dewi, Mucle, Wisben, Joned, Joind Bayu Winanda, dan aktor-aktor Teater Koma.

Musik akan digawangi oleh Arie Pekar dari Jakarta Street Music, dan dimeriahkan para penari dari Dansity yang dikoreografi oleh Josh Marcy.

Adaptasi Opera Kecoa. Lakon Julini Tak Pernah Mati atau Misteri Julini merupakan lakon yang dikembangkan atau dielaborasi dari lakon Opera Kecoa karya N. Riantiarno. Dalam lakon Opera Kecoa, Julini, tokoh utama, meninggal dunia. Namun, di pementasan Julini Tak Pernah Mati, Julini ditemukan dalam keadaan masih utuh saat kuburannya digali.

Keberadaannya pun menggemparkan sekaligus memunculkan polemik. Ada yang menganggapnya sebagai orang sakti. Ada pula yang menilainya sosok berbahaya dan mengancam. Ini karena kemunculannya langsung memikat banyak pengikut. Ia dipuja. Banyak yang mencoba memanfaatkan keajaiban Julini.

Di lain pihak, Julini memiliki keinginan sederhana, yaitu bertemu kawan- kawan dan kekasihnya. Tapi mereka semua sudah mati. Tinggal anak keturunan mereka.

Julini kemudian terperangkap dalam bermacam kepentingan politik. Ia disanjung tapi juga dihujat. Masa lalunya sebagai waria digugat. Apalagi ketika banyak orang menghubung-hubungkan masa silam Julini dengan perjalanan hidup seorang tokoh politik yang akan maju dalam pemilihan pimpinan kota.

Kemunculan Julini membuka banyak kisah yang selama ini ditutupi atau disembunyikan dari sejarah.



Kritik yang tak akan Selesai. Penulis dan sutradara pertunjukan Agus Noor mengatakan, selain mengenang Nano Riantiarno, kisah Julini diharapkan menjadi pengingat bahwa perjalanan seni teater di Tanah Air bertumbuh dengan keberadaan Teater Koma.

Kelompok ini bisa dikatakan adalah bukti sejarah bahwa seni pertunjukan dalam sosok teater di atas panggung, sempat mengalami masa keemasan dan menjadi salah satu dari tontonan yang menghibur sekaligus mengasah pemikiran-pemikiran kritis masyarakat Indonesia.

“Suatu masa ketika masyarakat menemukan hiburan dan pertemuan intelektual di panggung teater,” kata Agus menegaskan,”sosok Julini yang tak pernah mati, hendaknya bisa membuka jalan bagi kita semua untuk menghidupkan kembali masa-masa tersebut.”

Butet Mengenang Nano. Sementara itu, pendiri Indonesia Kita Butet Kartaredjasa melihat pementasan yang mengangkat salah satu karya populer Teater Koma ini sebagai kenangan dan reuni tersendiri bagi dirinya yang seringkali tampil bersama Teater Koma.

“Panggung Indonesia kali ini sungguh membuat saya campur aduk perasaannya. Antara bahagia, sedih, kangen, semua rasa yang mengingatkan saya pada Mas Nano Riantiarno dan juga momen-momen kenangan bersama Teater Koma,” kata dia.

Itulah sebabnya, lanjutnya, sangat pas dan perlu bagi Indonesia Kita untuk menampilkan lakon ini, supaya para penonton Indonesia bisa kembali diingatkan sejarah penting Teater Koma, sebagai kelompok teater yang banyak melahirkan seniman besar di dunia seni peran.

“Sekaligus wadah bagi mereka yang ingin belajar banyak tentang teater dan berakting yang bagus dan tepat,” papar Butet Kartaredjasa.


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru