Butet Kartaredjasa bersama Indonesia Kita menggelar lakon legendaris Teater Koma sebagai penghormatan bagi sang maestro, Nano Riantiarno.
Pentas ke-39 Indonesia Kita bertajuk ‘Julini Tak Pernah Mati’ digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 16–17 Juni 2023. Pertunjukan arahan Butet Kartaredjasa dan sutradara sekaligus penulis naskah Agus Noor ini menjadi wujud penghormatan kepada tokoh besar panggung teater Tanah Air, Nano Riantiarno.
Nano berpulang pada 20 Januari lalu. Pendiri Teater Koma itu meninggalkan banyak karya dan kenangan yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah teater di Indonesia. Salah satunya Julini. Ia tokoh fiktif rekaan Nano dalam trilogi pertunjukan ‘Bom Waktu’, ‘Opera Kecoa’, dan ‘Opera Julini’ yang dipentaskan pada 1985.
“Dalam trilogi itu, Julini sudah dikubur. Tapi kami ingin menghidupkan kembali Julini,” kata Butet mengawali konferensi pers sebelum pertunjukan.
Pada pementasan ini, tokoh utama dalam lakon ‘Opera Kecoa’ itu dikisahkan ditemukan masih utuh saat tempat peristirahatannya tak sengaja digali petugas proyek. Ia hidup lagi. Keberadaannya menggemparkan. Di sisi lain, memunculkan polemik. Ada yang menganggapnya sebagai orang sakti. Ada yang menilainya sosok berbahaya dan mengancam.
Kemunculan kembali Julini memikat banyak pengikut. Tak sedikit yang mencoba memanfaatkan ‘keajaiban’ ini. Padahal, keinginan Julini sederhana. Bertemu kawan-kawan dan kekasihnya. Sayangnya, semua sudah tiada. Tinggal anak keturunan mereka.
Julini kemudian terperangkap dalam bermacam kepentingan politik. Ia dipuja, tapi juga dihujat. Masa lalunya sebagai transpuan digugat. Orang-orang mulai menghubung-hubungkan masa silam Julini dengan perjalanan hidup seorang tokoh politik yang akan maju dalam pemilihan pemimpin kota.
Kemunculan Julini membuka banyak kisah yang selama ini ditutupi.
Seniman teater yang juga istri mendiang Nano, Ratna Riantiarno, mengapresiasi inisiatif ini. “Dari semua cerita yang dia ciptakan, Julini dipilih Nano (Riantiarno) untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Saya terharu Butet Kartaredjasa bisa membaca itu dan melahirkan karya yang berbeda,” ungkapnya, merujuk pementasan terbaru ini.
Indonesia Kita x Teater Koma. ‘Julini Tak Pernah Mati’ menandai kolaborasi apik antara komedi dan teater karena menyatukan para pemain, baik dari Indonesia Kita maupun Teater Koma, di satu panggung. Selain Butet Kartaredjasa, ada Rangga Riantiarno selaku asisten sutradara, aktris senior Jajang C. Noer, komedian Mucle, Wisben, Joned, dan Joind Bayu Winanda yang memerankan tokoh Julini.
Sri Krishna Encik, Sruti Respati, dan Netta Kusumah Dewi tak hanya berakting, tapi juga sumbang suara. Musik digawangi Arie Pekar dari Jakarta Street Music. Pentas ini didukung atraksi para penari dari Dansity yang dikoreografi Josh Marcy.
Tak ketinggalan, komedi garing ala Marwoto serta duet maut Cak Lontong dan Akbar yang tak henti-hentinya mengocok perut penonton. Lawakan segar menggelitik, tapi tetap tajam kritik—khas Indonesia Kita—menyentil isu-isu terkini di negeri ini, dari isu sosial hingga politik.
Aktor-aktor Teater Koma di antaranya Bayu Dharmawan Saleh, Adri Prasetyo, Yoga Setyono, Dana Hassan, Michael Armando Yogi, Radhen Darwin, Pandu Raka Pangestu, dan Aden Ramadan.
Bagi seorang Butet Kartaredjasa, pendiri Indonesia Kita, pementasan yang mengangkat salah satu karya populer Teater Koma ini menjadi kenangan sekaligus reuni tersendiri. Sebelumnya, ia sering tampil bersama Teater Koma.
“Dengan pementasan ini, para penonton Indonesia bisa kembali diingatkan sejarah penting Teater Koma sebagai kelompok teater yang melahirkan banyak seniman besar di dunia seni peran, sekaligus wadah bagi mereka yang ingin belajar banyak tentang teater dan berakting yang bagus dan tepat,” paparnya.
Senada, Agus Noor dalam pernyataannya menegaskan, Teater Koma adalah bukti sejarah bahwa seni pertunjukan dalam format teater di atas panggung sempat mengalami masa keemasan, menjadi salah satu tontonan yang menghibur sekaligus mengasah pemikiran-pemikiran kritis masyarakat Indonesia.
“Suatu masa ketika masyarakat menemukan hiburan dan pertemuan intelektual di panggung teater,” tutur Agus.