Kemah Tabor, nama kompleks bangunan yang usianya hampir seabad. Rancang arsitekturnya ditangani Pater Kurt Bard SVD, seorang misionaris Katolik asal Jerman.
Wujud bangunan dianggap tak lazim pada masanya lantaran bertingkat serta punya struktur berbentuk lancip seperti piramida, demikian pun penataan taman simetrikal mengikuti gaya Eropa.
Acapkali warga menyebutnya ‘Rumah Tinggi,’ terkesan misterius bagi masyarakat Golewa yang hidup di sekitarnya pada era 1930-1950an.
Saya mengitari Kemah Tabor hingga ke halaman belakang, mendapati areal makam para missionaris Eropa yang berjasa bagi perkembangan Flores, seperti Pater Frans Cornelissen SVD pendiri Seminari Mataloko, Pater Kurt Bard SVD sang arsitek Kemah Tabor, dan idola saya Pater Paul Ardnt SVD antropologis yang banyak menulis tentang budaya Flores. Dapur Kemah Tabor yang bersisian dengan areal makam sekonyong-konyong menebarkan aroma roti bakar.
“Singgahlah untuk sarapan bersama kami,” sapa salah satu juru masak. Ketika mampir ke dapurnya, saya menemukan oven tua buatan Jerman sedang terbuka menampakkan balok-balok roti nan padat. “Oven itu sudah berumur puluhan tahun, masih berfungsi dengan baik,” terang juru masak berbangga.
Dinginnya hawa Golewa perlahan menghangat seiring roti bakar dan kopi tersaji untukku.