gunung-papandayan-bunga-abadi-dari-kawah-mati
| Dok Makhfud Sappe
Destination
GUNUNG PAPANDAYAN: Bunga Abadi dari Kawah Mati
By GENER WAKULU
Tue, 22 Jul 2025

LETUSAN-DEMI LETUSAN TELAH MEMBUAT MOZAIK KEKAYAAN DAN KEINDAHAN PADA KAWASAN GUNUNG PAPANDAYAN. TERMASUK MEMBENTUK KAWAH YANG TELAH MATI MENJADI TEMPAT TUMBUHNYA EDELWEISS SELUAS 17 HEKTAR. 

Masih terlalu pagi. Kita tunggu setengah jam lagi,” ujar Toni, pemandu kami di pagi buta itu. Ya kami baru saja tiba di ‘base camp’ pendakian wisata ke Gunung Papandayan, Garut, pk. 04.00 pagi itu. Mobil pun baru saja kami parkir. Di base camp wisata itu memang tersedia parkiran yang luas, dikelilingi warung-warung hingga mushola. Tempat ini sudah berada pada ketinggian sebenarnya.

Maksud dari kalimat tadi adalah agar kami “tepat waktu” berada di puncak gunung untuk melihat matahari pagi terbit. Ya, bila kita memulai pendakian pada pukul 04.30, maka pada sekitar pk. 06.00 kita sudah berada di sebuah puncak yang leluasa untuk melihat ke segala arah –- yang terpenting adalah pemandangan kawah gunung Papandayan itu sendiri.

Perjalanan pendakian pada fase ini sebenarnya melewati beberapa bagian di tengah kawah. Bau sulfur sangat keras menyengat di sini sehingga kami mesti menutupi indra penciuman kami. Demikian pula ketika angin mengembuskan asap belerang kearah kami, membuat kami mesti membalikkan badan saat berhenti sejenak di kawasan kawah ini.

MORNING HAS BROKEN

“Puncak” yang kami maksud adalah sebuah dataran di mana kita bisa memandang ke seluruh kawasan. Angin keras dan dingin sudah terasa. Di sini, keindahan matahari terbit pada latar belakang kawah akan menyuguhkan pemandangan yang spektakuler.

Semburat jingga di cakrawala, gerakan asap belerang dari kawah yang terus membara dan bergemuruh, kontur puncak dan lereng-lereng, kehidupan alam pedesaan di kejauhan di bawah, langit biru dengan hiasan awan, seperti lukisan yang megah tentang kehidupan alam.


Pemandangan matahari terbit dari G Papandayan. Foto Makhfud Sappe

Tempat kami berdiri sekarang bukanlah puncak gunung Papandayan –yang berada pada arah agak ke timur- tenggara dari posisi kami. Namun puncak dengan ketinggian 2.665 meter dari permukaan laut itu bukan tujuan kami. Tujuan kami adalah Tegal Alun, sebuah dataran tinggi lainnya, di mana terbentang padang dengan bunga- bunga edelweiss.

Untuk itu, dari tempat kami berdiri, kami mesti melintasi padang bebatuan yang tandus di ketinggian, dengan pohon- pohon yang hangus merangas di sana- sini. Cuaca di sini bisa dibilang tidak stabil, kadang matahari bersinar cerah, namun tak lama kemudian kabut menutupi. Ketika dijadikan gambar, pemandangan ini juga terbilang spektakuler. Seorang disainer yang mengamati hasil foto kami di sini berkomentar, ia seperti sedang melihat gambar “Fantasia 2000” dari Disney. Saya lain lagi, merasa seperti sedang syuting film “The Lord of the Ring”.

LETUSAN & KEINDAHAN

Pada gunung ini terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah- kawah tersebut mengeluarkan uap dari dalamnya. Kini, di kawasan Kawah Mas, yang berwarna seperti nugget (debu dan biji emas) di banyak spot-nya, memiliki 14 lubang letusan. Menilik dari sejarahnya, Papandayan tercatat pernah meletus pada tahun 1772, 1923, 1942, 1993, dan 2003. Letusan besar yang terjadi pada 11-12 Agustus 1772 menghancurkan sedikitnya 40 desa dan menewaskan sekitar 2.951 orang.  Letusan besar ini menyebabkan kehancuran pada sebagian tubuh gunung, membentuk kawah tapal kuda membuka kearah timur laut hingga sekarang.

Jauh sebelum orang-orang Belanda menemukan gunung ini pada tahun 1706, masyarakat setempat telah sering melintasi Gunung Papandayan untuk membawa tembakau, garam, sayuran dan hasil- hasil bumi lainnya. Jalur ini merupakan jalan terdekat yang menghubungkan dataran tinggi Pangalengan, Bandung dengan lembah Garut. Dan itu sebenarnya berlangsung hingga era sekarang, di mana Papandayan telah dieksploitasi sebagai daya tarik wisata. Orang bisa melintasi Papandayan dengan kendaraan pribadi, mobil, hingga persis di bibir kawah, lalu melanjutkan perjalanan ke kawasan Ciwidey, Pangalengan, Bandung selatan, atau sebaliknya.

Namun ada kejadian besar yang mengubahnya. Senin, 11 November 2002, aktivitas vulkanik Gunung Papandayan meningkat dalam skala yang besar setelah 60 tahun istirahat (letusan terakhir tahun 1923). Letusan pada hari itu menyemburkan debu pekat setinggi 5 kilometer ke angkasa dan longsor dahsyat pada sebagian dinding bukit Nangklak. Sekaligus mengubah wajah lembah tapal kuda dan terbentuknya beberapa kawah baru.

Bersamaan dengan itu, jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat atau mobil yang menghubungkan kawasan Papandayan di Samarang dengan Ciwidey dan Pangalengan pun putus. Wisatawan juga tidak bisa lagi melihat kawah Papandayan dari mobil mereka yang sebelumnya bisa parkir di bibir kawah. “Kalau kita perhatikan, ini kan bekas jalan mobil, campuran bebatuan dan aspal,” kata Toni sambil menunjuk sisa-sisa jalan bebatuan beraspal yang telah putus tertimbun bukit. Meski begitu, kami dapati beberapa pemuda mencoba memotong kawasan ini dengan menggunakan sepeda motor trail. Dan dari info yang kami peroleh, memang banyak penggemar sepeda motor trail gunung yang menggunakan kawasan ini sebagai tempat bertualang antarkawasan, Papandayan-Ciwidey. Itu mungkin kawan-kawan pendaki saya kerap menjuluki kawah Papandayan dengan Kawah Putih di Ciwidey sebagai “saudara”. Yang jelas, keunikan-keunikan inilah yang membedakan keindahan Gunung Papandayan dengan gunung- gunung api lainnya di Indonesia.

EDELWEISS 17 HEKTAR

Ketika hari telah terang, pendakian kami lanjutkan, membelah padang bebatuan dengan pepohonan yang merangas hitam. Sepintas, pemandangan di kiri-kanan jalan sama saja. Pantas, banyak pendaki tersesat di sini, karena jalan setapakpun sebenarnya agak samar, hanya warna-warni bebatuan dengan corak yang mirip di sana-sini. Kemungkinan berbahaya memang bila cuaca gelap atau malam hari, karena selain berhadapan dengan dinding gunung menuju dataran yang lebih tinggi, juga jurang menganga ke dalam kawah di salah satu sisinya.

Setelah mendaki dua jam lagi, kami pun tiba di Tegal Alun. Tempat ini adalah sebuah dataran dengan ketinggian 2.400 meter dpl. Sejatinya, Tegal alun adalah kawah yang telah lama mati akibat letusan abad-abad sebelumnya. Di Tegal Alun, pepohonan edelweiss yang berbunga membentang seluas 17 hektar dengan indahnya. Bunga-bunga romantis yang akrab dengan para penggiat alam bebas itu tumbuh dan hidup tak terusik, seakan abadi. Pukul sembilan pagi itu, ketika kami tiba di Tegal Alun, butir-butir embun masih menempel bak hiasan di daun dan bunga-bunganya. Hanya, ‘saking’ luasnya, padang edelweiss ini tidak bisa kami jelajahi semuanya. Cuaca pun berubah-ubah, sedikit terang, lalu tertutup kabut, lalu gerimis lagi, Kehadiran kami di Tegal Alun memang disambut oleh burung-burung dan monyet-monyet.

MENCAPAI PAPANDAYAN

Gunung Papandayan terkenal di kalangan para pendaki, khususnya pendaki pemula, karena relatif mudah didaki dan tidak terlalu tinggi.

Pemandangannya pun indah, bahkan bila dilihat dari base camp pendakian, seperti memandang sebuah lukisan pemandangan alam gunung yang megah. Persisnya, Gunung Papandayan terletak di sekitar 25 km sebelah barat daya kota Garut. Untuk mencapainya, dari kota Garut sendiri, kita bisa berkendara kearah Samarang, jalan yang sama yang akan membawa kita ke Pameungpeuk, Garut selatan. Perlu sekitar 30 menit berkendara dari kota Garut untuk sampai di alun-

alun Kecamatan Samarang. Dari sini jalan bercabang. Bila belok ke kiri, itulah jalan utama sekaligus jalur ekonomi ke Pameungpeuk, Garut Selatan, sementara bila lurus akan mengarah ke kawasan cagar alam Gunung Papandayan.

Kalau mau diukur-ukur, menggunakan mobil pribadi hanya perlu berkendaratak sampai 10 menit untuk sampai ke base camp wisata gunung Papandayan dari sini. Sayangnya, jalanan berbatu itu rusak berat, sehingga waktu tempuh bisa menjadi 25 menit. Tentu, tidak disarankan untuk menggunakan mobil denganground clearance rendah seperti sedan. 


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru