“Perempuan Aceh pantang meneteskan air mata untuk orang yang syahid di medan perang, bangkitlah! Perjuangan kita masih panjang.”
Kata-kata itu seolah terngiang mengikuti langkah-langkah menyusuri lorong ruang demi ruang replika rumah Cut Nyak Dhien. Semangat perjuangan dari perempuan berhati baja ini terasa bergetar di setiap sudut ruang. Ya, rumah yang berdiri megah ini menjadi saksi bisu kisah perjuangan pahlawan wanita dalam menghadapi penjajahan Belanda kala itu.
Rumah panggung khas Aceh atau yang lebih dikenal Rumoh Aceh ini terbuat dari kayu. Warna hitam mendominasi eksterior dengan sentuhan sedikit warna kuning dan merah serta ukiran kayu menjadi pemanis. Rumah panggung ini dibangun pada1981 di lokasi rumah Cut Nyak Dhien yang dibakar oleh Belanda pada 1896. Rumah Cut Nyak Dhien yang sekaligus difungsikan sebagai museum ini berada di Jalan Banda Aceh-Meulaboh, km 8 Lampisang, Peukan Bada, Aceh Besar.
Siang itu, kami ingin segera melongok ke dalam dan melihat seperti apa sebenarnya ruang dalam rumah panggung yang besar itu. Kami harus meniti anak tangga dan tentu saja sebelum masuk harus melepas alas kaki. Anak tangga ini menuju bagian serambi. Di sini terdapat lampu antik yang tergantung indah memancarkan cahaya kuning.
Terdapat dua pintu di sisi kanan dan kiri. Sebagai Cagar Budaya, tak heran jika di rumah ini ada seorang guide yang memberikan informasi seputar rumah Cut Nyak Dhien. Saat itu kami dipersilahkan masuk melalui pintu kanan. Begitu melewati pintu, kami mendapati ruang selasar yang cukup luas. Di bagian dinding kayu dipajang deretan foto tempo dulu yang mengisahkan rentetan sejarah perjuangan Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, dan rakyat Aceh dalam menghadapi Belanda. Terasa getaran semangat perjuangan dari sang pemilik rumah ini saat melihat deretan gambar-gambar yang tergantung di dinding.
Di rumah inilah, Cut Nyak Dhien menyusun strategi perang. Cut Nyak Dhien lahir pada 1848 di Lampadang. Putri Teuku Nanta Seutia uleebalang bangsawan Lampagar ini pada 1862 dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga. Suaminya meninggal pada 1878 gugur di medan pertempuran melawan pasukan Belanda.
Dua tahun kemudian Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar. Namun, Cut Nyak Dhien harus merasakan duka untuk kedua kalinya ketika Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 10 Februari 1899. Cut Nyak Dhien harus melanjutkan perjuangan bersama sisa pasukannya dengan bergerilya di hutan-hutan Meulaboh.
Pada 1901 Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Cut Nyak Dhien yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan serta matanya mulai rabun ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh sebelum akhirnya diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Kembali ke dalam rumah panggung, selesai menikmati beberapa gambar yang ada di bagian selasar kami lanjutkan ke ruang lainnya. Rumah ini memiliki 12 ruang yang terdiri atas serambi, selasar, kamar utama, kamar dayang, ruang tamu, kamar pelayan, dan ruang makan. Beberapa ruangan lengkap dengan meja kursi dan meja makan. Di bagian dinding terdapat beberapa senjata yang dipajang di dalam lemari kaca.
Menyusuri ruang demi ruang di rumah Cut Nyak Dhien ini menjadi pengalaman unik. Interior yang juga didominasi warna merah dan cokelat kehitaman dengan ruang-ruang yang agak temaram memang menimbulkan sensasi tersendiri. Salah satu bagian berwarna cerah adalah kamar utama yang dipakai sebagai kamar tidur Cut Nyak Dhien. Kamar ini didominasi warna kuning cerah.
Seluruh permukaan dinding dan plafon ditutup kain, mirip kamar pengantin. Bagian lantai dialasi karpet dan tempat tidurnya ditutup kain kelambu. Selain itu di bagian depan ranjang terdapat sofa untuk duduk lesehan lengkap dengan beberapa bantal.
Kondisi kamar Cut Nyak Dhien ini berbeda dengan kamar para dayangnya. Kamar dayang juga dilapisi kain di seluruh dinding hingga plafon. Bedanya, warna yang mendominasi kamar dayang ini adalah warna merah dan pink. Dari kamar dayang lanjut ke ruang lainnya, ada satu ruang yang mirip ruang rapat. Meja panjang komplit dengan deretan kursi. Bisa jadi di sini biasa dipakai Cut Nyak Dhien bertemu membahas strategi dalam menghadapi penjajah.
Selain ruang-ruang yang sarat informasi sejarah, ada satu bagian yang menarik yaitu keberadaan sumur. Sumur ini menjadi menarik karena di bagian bibir sumur dibangun tembok yang bagian atasnya mencapai jendela atas rumah panggung ini. Bagian sumur inilah yang hingga saat ini masih asli dari pertama dibangun sebelum rumah ini dibakar Belanda.
Meski hanya sekejap, kunjungan ke rumah Cut Nyak Dhien ini membawa kami semakin sadar harus lebih mengapresiasi perjuangan para pahlawan, khususnya Cut Nyak Dhien yang memiliki julukkan Srikandi Indonesia. Perjuangan kita masih panjang kawan!