Festival Musikal Indonesia digelar di Jakarta, 20-21 Agustus 2022. Event ini diselenggarakan oleh Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek bekerjasama dengan Yayasan Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI)
Festival diharapkan dapat menghadirkan satu konsep musikal Indonesia yang tidak mengarah ke Broadway, tapi mampu melahirkan konsep musikal tersendiri yang khas ala Indonesia.
Secara konsep, festival yang terbagi dalam dua hari ini akan menghadirkan pertunjukan musikal yang dimainkan oleh beberapa komunitas musikal yang selama ini sudah menghadirkan beragam musikal dalam pertunjukan-pertunjukannya. Mereka akan menggarap berbagai cerita dari kesejarahan dan tradisi Indonesia dalam waktu 30 menit.
Beberapa komunitas yang akan tampil tersebut adalah EKI Dance Company, FlodanzSoka, Jakarta Movin, Artswara, Kampus Betawi, Swargaloka, dan Teman Production.
Selain menggarap khazanah penceritaan dari Indonesia dengan harapan akan hadir musikal bergaya Indonesia, masing-masing penampil diharapkan dapat memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk menghadirkan konsep pertunjukan musikal yang sesuai dengan zaman.
“Dalam artian, konsep musikal ini selain untuk mencari sesuatu tentang perjalanan pertunjukan musikal di Indonesia, juga untuk mengekplorasi kemungkinan- kemungkinan yang dapat diusung dalam sebuah pertunjukan musikal,” demikian pernyataan tertulis EKI Dance Company, yang dari tangan dingin sang direktur artistik Rusdy Rukmarata lahir koreografer-koreografer berbakat.
Catatan perjalanan musikal. Dalam kesejarahannya musikal dapat ditelusuri ke sejumlah hiburan abad ke-19 melalui music hall, comic opera (opera ringan), burlesque, vaudeville (lelucon dengan musik), variety show, pantomim, minstrel show (pertunjukan nyanyi).
Pada tahun 1927 muncul genre musikal baru dalam produksi Show Boat yang musiknya digarap oleh Jerome Kern dan lirik ditulis Hammerstein. Garapan ini merupakan musikal pertama yang memberikan plot kohesif dan musik mulai menjadi bagian integral dari narasi.
Genre musikal yang dikenal pada tahun 1930-an hingga 1950-an mulai menurun pada akhir 1960-an. Pada dekade ini musikal mulai menyimpang ke berbagai arah, mulai dari rock and roll, bergaya opera, tatacahaya dan pertunjukan mewah, nostalgik, dll.
Salah satu yang terkenal, musikal berjudul The Lion King (1997) dengan musik garapan Elton John dan lirik ditulis oleh Time Rice. Memasuki abad ke-21, beberapa musikal terkenal seperti Wicked (2003) karya Stephen Schwartz; The Book of Mormon (2011), dengan musik, lirik, dan naskah oleh Matt Stone, Trey Parker, dan Robert Lopez; dan Hamilton (2015) dari Lin-Manuel Miranda.
Di Indonesia musikal lebih dikenal dekat melalui film. Dalam kesejarahannya film musikal Indonesia dimulai pada era 1950-an melalui film berjudul Bintang Surabaja (1951) garapan sutradara dan penulis Utomo (Fred Young). Film musikal kemudian kian dikenal melalui garapan Usmar Ismail berjudul Tiga Dara (1956) dan Asmara Dara (1958) karya H. Usmar Ismail. Dua film ini dipandang telah menghadirkan kesegaran baru melalui musikal di tengah kehadiran film-film konvensional di Indonesia.
Periode 1970-an musikal, melalui film berjudul Cinta Pertama (1973) dan Badai Pasti Berlalu yang diangkat dari novel Marga T. Selanjutnya, musikal melalui film mencapai pucak pada tahun 2000-an melalui Petualangan Sherina garapan sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana, dengan Elfa Secioria sebagai penata musik.
Dalam dunia musik Indonesia, kita mengenai pertunjukan musik(al) Rock Opera Ken Arok karya Harry Roesly yang digelar di Gedung Merdeka, Bandung, 12 April 1975, dipentaskan lagi pada 2 Agustus 1975 di Balai Sidang, Jakarta. Pertunjukan yang disebut Harry Roesly “Wayang orang Kontemporer” ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan menempatkan pentas teater sebagai sesuatu yang profan. Dalam artian, pentas bisa dinikmati siapa saja, dari latar belakang apapun.
Generasi baru yang memadukan unsur tradisi dan kontemporer. Periode 1990-an dan awal 2000-an konsep musikal baik dalam pertunjukan tari atau teater agaknya mulai dihadirkan secara utuh oleh beberapa kelompok seni pertunjukan.
Salah satu kelompok tari yang konsisten menghadirkan musikal dapat dilihat melalui pertunjukan- pertunjukan EKI Dance Company mulai dari awal 2000-an hingga sekarang: Madame Dasima (2001), Gallery of Kisses (2002), Forbidden Passion (2002), China Moon (2003), Lovers and Liars (2004), Battle of Love (2004), Miss Kadaluarsa (2007), Jakarta Love Riot (2010), Kabaret Keroncong (2011), Kabaret Oriental (2012), dst.
Dalam perkembangannya kita dapat melihat pula bagaimana EKI Dance Company sebagai salah satu kelompok yang konsisten menghadirkan musikal menghadirkan beberapa genre semisal Variety Show pada EKI Update 1.0 (2016) hingga mendapuk “Broadway ala Indonesia” pada EKI Update 4.1 (2019).
Di sini dapat dilihat, dalam setiap pertunjukan musikal EKI Dance Company berupaya mengadopsi kisah-kisah kekinian dengan balutan keragaman budaya di Indonesia. Mereka berupaya memadukan unsur tradisi dan kontemporer dalam setiap pertunjukan dengan semangat: modern, terbuka, dan khas Indonesia.
Indonesia Menuju Broadway: Menyelami teater musikal berstandar internasional. Usaha untuk menghadirkan konsep musikal di Indonesia dapat dilihat pula dari program Indonesia Kaya melalui Ruang Kreatif gencar melalui Indonesia Menuju Broadway, sebuah program pelatihan bagi seniman muda untuk mendapat pembekalan ilmu panggung dengan standar Broadway di Indonesia dan membuka kesempatan bagi mereka untuk pergi mengikuti pelatihan di New York.
Program kerjasama dengan Passport to Broadway, Indonesia Menuju Broadway menghadirkan praktisi dan ahli dalam seni teater musikal Broadway dari New York. Belakangan (2021) Indonesia Kaya (Bakti Budaya Djarum) juga berupaya menghadirkan serial musikal yang diadaptasi dari novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karangan Marah Rusli (1922).
Serial yang digarap oleh Garin Nugroho ini berusaha untuk mendekatkan kembali cerita dalam sastra Indonesia lama pada generasi muda, dan menghadirkan musikal dengan penyesuaian artistik yang menarik di zaman modern.