Jika Orang Modern baru mengenal istilah “MarketPlace” melalui tumbuhnya berbagai flatform digital, Masyarakat Asmat justru telah lebih dulu punya Tradisional MarketPlace yang dikemas dalam istilah Pesta Budaya ASMAT, mampu mempertemukan Interaksi Budaya dengan Ekonomi sekaligus dalam satu spot.
Saya selalu punya banyak pertanyaan untuk Asmat yang sampai hari ini masih terus saya gali, mulai dari mengapa ukiran Asmat begitu kaya makna? Darimana datangnya keahlian memahat Suku yang sehari-hari tinggal di atas papan, berdiri di lahan rawa gambut penuh lumpur? Ukiran Asmat sangat kaya akan garis dan desain, menjadi “Must items” yang diburu para kolektor seni dunia dan Festival Asmat Pokman menjadi salah satu “Market” utama untuk memburunya, karena disanalah setiap bulan Oktober Minggu kedua menjadi tempat penting bertemunya pemahat dan kolektor, sunguh Pesta yang sangat dinanti tiap generasi Asmat. Yuk, mengintip perjalanan menuju Festival 6-12 Oktober 2022 dan kisah di balik seni ukir Asmat yang mendunia.
JEJAK FUMERIPITSY
Di antara rimba belantara tropis Papua, kita akan menemukan Suku Asmat. Mereka tinggal di pedalaman dan pesisir Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Cerita tentang suku artistik ini bermula pada ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Pada awal peradabannya, Suku Asmat percaya bahwa mereka adalah titisan para dewa. Fumeripitsy, nama dewa yang dianggap menjadi cikal bakal jiwa artistik Suku Asmat.
BACA JUGA : Kemegahan di Balik Kabut Lembah Baliem #1
Dikisahkan Sang Dewa turun ke bumi Papua. Kisah tentang Fumeripity memiliki berbagai versi. Kesamaan dari berbagai versi itu adalah bahwa Ia terdampar di pinggir pantai. Awal perjalangannya mengarungi sungai hingga ke muara dengan menggunakan lesung, Fumeripitsy bertemu dengan buaya raksasa. Terjadilah pertarungan, Fumerispitsy berhasil mengalahkannya walaupun dengan luka parah..
Dalam keadaan terluka Fumeripitsy terdampar di pantai tidak sadarkan diri. Namun, nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung ajaib hingga Ia kembali pulih. Merasa kesepian, Fumeripitsy memahat dua patung kayu menyerupai sosoknya dan sebuah alat musik tifa yang ditabuhnya terus menerus. Tiba-tiba patung tersebut bergerak dan hidup, keduanya menari mengikuti suara tifa. Konon kedua patung itulah manusia-manusia pertama di Papua, lalu keturunan merelahlah yang kemudian menjadi Wow-ipits atau Wow iwir, para pemahat Asmat.
Legenda Fumeripitsy inilah yang bisa menjelaskan bahwa patung dan kegiatan memahat memiliki nilai sakral bagi Suku Asmat. Tradisi dan budaya ini berjalan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sepantasnya perayaan Festival Asmat Pokman menjadi perayaan bagi para pemahat, penari dan pendayung.
PESTA BUDAYA PEMERSATU ASMAT
Festival Asmat Pokman, 6-13 Oktober 2022 mendatang yang diadakan di Agats ibukota Kabupaten Asmat, akan dihadiri sekitar 400 peserta. Perayaan atau pesta budaya yang menyatukan berbagai Suku Asmat yang menempati wilayah pesisir pantai dan pedalaman. Perayaan kali ini sudah sangat dinanti mengingat selama dua tahun terakhir sejak 2020, kegiatan Festival Budaya Asmat tidak terselenggara karena pandemi. Padahal kegiatan tersebut sudah menjadi agenda rutin tahunan Gereja Katolik Keuskupan Agats dengan Pemkab Asmat sejak 1981 setiap bulan Oktober.
Mengutip yang dikatakan Bupati Elisa Kambu kepada Antara News, “kegiatan Festival Budaya Asmat sudah menjadi ikon Asmat”. Di mana melalui Festival Asmat Pokman ribuan ukiran kayu hasil karya terbaik para pengukir Asmat dari berbagai distrik akan dipamerkan dan dilelang. Ukiran-ukiran terbaik yang dihargai hingga puluhan juta rupiah akan disimpan di Museum Asmat.
Dan sebagai Ethnografer saya pribadi pun sangat mengagumi budaya dan seni ukir Asmat ini sehingga saya mengajak “Jika kita ingin mengenal budaya dan hasil karya seni pahat terbaik dari seluruh penjuru Asmat,datanglah ke pesta budaya ini. Acara Festival Asmat telah menjadi pelopor begitu banyak pesta budaya lain di Indonesia. Acaranya sangat lengkap dari tari, kerajinan anyam, dan pahatan kayu. Apalagi Museum Asmat adalah pusat terlengkap karya seni Asmat dan menjadi kebanggaan masyarakat asmat menurut saya ini adalah satu-satunya museum terbaik yang terawat sangat baik sekali meski berada di wilayah 3T dan kita harus mampu mempertahankan keberadaannya!.”
Museum Asmat memang terletak di tempat terpencil, tetapi koleksi yang dimiliki sangatlah lengkap. Beberapa karya seni Suku Asmat yang sudah sangat langka bisa kita saksikan di sana. Museum dibangun dan dikelola oleh Keuskupan Agats sejak tahun 1972 dan mulai dibuka untuk umum pada 17 Agustus 1973.
Jika ingin bertanya tentang berbagai hal mengenai Asmat, Erick Sarkol, kepala museum sekaligus kurator utama Museum Asmat sejak 1 Januari 1974.
“Saya bukan sarjana Antropologi atau jurusan apalah itu. Namun, saya bangga bahwa begitu banyak peneliti, profesor, doktor antropologi, sejarah, sosiologi, penulis, kolektor, fotografer profesional mau datang dan belajar ke museum yang katanya sangat terpencil. Seluruh hidup saya hanya untuk Asmat dan museum ini!” ujar Erick Sarkol.
Pernyataan dari Erick memang terbukti dengan adanya artefak Suku Asmat menjadi koleksi paling bernilai yang memperkaya Museum Metropolitan, New York. Selain di New York itu, masih banyak lagi artefak seni Asmat terpajang di beberapa museum ternama lainnya. Barang-barang tersebut merupakan koleksi dari antropolog muda, Michael Rockefeller dari era awal tahun 1960an dalam dua kali perjalanan ekspedisi.
Erik juga menceritakan tentang perkembangan Festival Asmat sejak tahun 1981, yang dihadiri hanya 36 pemahat mewakili wilayah keuskupan dari 12 rumpun Asmat. Namun, setelah festival pertama Jumlah pemahat yang hadir bertambah setiap tahunnya. Saat festival terakhir sebelum pandemi tahun 2019, pesertanya mencapai 210 orang, pengayam 60 orang dan penari 90 orang atau 6 grup. Agenda acara juga semakin beragam seperti lomba seni ukir asli Asmat dan dayung perahu Asmat.
Bisa dibayangkan bahwa tahun 2022 adalah tahun yang diharapkan oleh para seniman Suku Asmat untuk kembali berkumpul saling unjuk karya pahatan yang luar biasa. Meskipun kebudayaan modern banyak berpengaruh pada kehidupan mereka, tetap tradisi dan adat Asmat akan sulit untuk dihilangkan. Suku Asmat memiki kebudayaan yang luar biasa dan layak untuk dipelajari lebih jauh saat berkunjung ke Papua. Ditunggu kehadirannya di Agats, 5-13 Oktober. (*)