empat-puluh-malam-dan-satunya-hujan-warnai-artjog-2024
| BAKTI BUDAYA DJARUM FOUNDATION
Art & Culture
Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan Warnai ARTJOG 2024
Devy Lubis
Tue, 27 Aug 2024

Festival, pameran dan pasar seni rupa kontemporer tahunan ARTJOG kembali digelar tahun ini, dengan mengusung tema ‘Motif: Ramalan’. Event ini berlangsung sejak 28 Juni 2024 hingga 1 September mendatang mendatang di Jogja National Museum.

Setiap tahunnya, ARTJOG selalu berusaha menyediakan ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan seni di Indonesia, bukan hanya dalam ranah seni rupa, tapi juga bentuk kesenian yang lain. Komitmen ARTJOG untuk menjadi ruang pertemuan antara seni, dalam hal ini seni pertunjukan, dengan masyarakat pada tahun ini diwujudkan melalui program performa•ARTJOG x Bakti Budaya Djarum Foundation.


“Program tahun ini membuka kesempatan bagi para pengunjung untuk berinteraksi langsung dengan para seniman, memahami proses kreatif, dan mendengar langsung cerita di balik karya-karya mereka,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Renitasari pun berharap rangkaian kegiatan ini dapat menginspirasi dan memperkaya wawasan budaya penonton, sehingga dapat mendorong kreativitas para seniman muda dan memperkuat ekosistem seni di Indonesia.

CEO dan Founder ARTJOG Heri Pemad menyampaikan apresiasinya terhadap dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation kepada ARTJOG selama ini. Menurutnya, hal ini merupakan langkah konkret dalam membangun infrastruktur seni dan budaya.

“Sebuah peristiwa budaya ketika mendapatkan kesempatan dan semangat yang sama dari relasi, partner, atau dari siapapun rasanya seperti mendapatkan kawan satu frekuensi. Tentu kerja sama ini sangat membahagiakan di tengah kondisi kemandirian sekaligus keterbatasan dari teman-teman seniman dan penyelenggara event seni dan budaya,” ungkap Heri Pemad.

Ia menambahkan, “Dukungan ini juga menguatkan landasan kita; bahwa memajukan seni dan budaya adalah tanggung jawab bersama.”


Kemitraan antara ARTJOG dan Bakti Budaya Djarum Foundation tahun ini juga hadir dalam presentasi karya instalasi mix-media hasil kolaborasi antara Nicholas Saputra, Happy Salma, (alm.) Gunawan Maryanto, dan Iwan Yusuf yang berjudul ‘Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan’. Karya ini merupakan alih wahana dari buku tafsir dan terjemahan ‘Serat Centhini’ oleh Elizabeth D. Inandiak dan diterbitkan pada tahun 2002.


Nicholas Saputra, Happy Salma, Iwan Yusuf, Elizabeth D. Inandiak, dan Didik Nini Thowok pun hadir dalam program Meet the Artist pada Kamis, 22 Agustus 2024, untuk mengungkap proses kreatif di balik karya ‘Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan’, serta mengkaji ulang makna ‘Serat Centhini’.

“Ini adalah upaya kami untuk memperkenalkan lebih dalam sebuah karya penting dalam sastra Jawa dari abad ke-19,” ujar Nicholas Saputra.


Secara visual, papar Nicholas, instalasi ranjang dan kelambu dihadirkan melalui kolaborasi dengan Iwan Yusuf. “Melalui karya ini, kita diajak untuk memaknai isi dari percakapan antara Amongraga dan Tambangraras sebagaimana sebuah suluk dipresentasikan kembali di era kontemporer hari ini melalui karya Elizabeth D. Inandiak, seperti halnya memaknai sebuah ‘ramalan’ dari masa lalu.”

Pada malam harinya, sebuah pertunjukkan hasil interpretasi Didik Nini Thowok atas karya ‘Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan’ ditampilkan ke hadapan para pengunjung. Didik Nini Thowok bersama Elizabeth D. Inandiak selaku narator, Anon Suneko (komposer), dan Sarah Diorita (performer) memadukan pertunjukan wayang golek dan lantunan tembang dari beberapa pupuh di dalam kisah tersebut dalam seni tari yang ekspresif.


Mereka mengajak penonton melihat kembali kisah Amongraga dan Tambangraras di sepanjang malam-malam itu secara interpretatif dan kontemplatif.

Sementara itu, Rianto, penari dan koreografer yang kini berbasis di Jepang, menampilkan sebuah pertunjukan tari bertajuk ‘Sastra Jiwangga - Perjalanan Tubuh Jawa’ di Panggung ARTJOG pada 24 dan 25 Agustus 2024.   

Rianto, dalam setiap penampilannya, selalu berusaha mengungkap relasi antara tubuh religius, sosial, politik, dan tradisional. Kali ini bersama iringan instrumen perkusi Cahwati Sugiarto, seorang musisi dan penari asal Solo, dia mencoba menelusuri kembali akar kata yang mendasari Lengger, yaitu menyadari dan mengingat (elinga ngger).

Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru