Dermaga Kampung Ujung, pagi itu ramai seperti biasanya. Di bagian paling utara, sebuah sekoci berwarna putih berayun.
Dermaga Kampung Ujung, pagi itu ramai seperti biasanya. Di bagian paling utara, sebuah sekoci berwarna putih berayun. Di dalamnya dua pria kulit putih duduk bercakap dengan awak kapal. Seorang lelaki muda menyambut saya, “Selamat pagi. Mari, kita akan langsung berangkat. Pak Massi dan Mikel sudah ada,” ujarnya. Saya melompat masuk ke dalam sekoci, dan kedua pria itu mengulas senyum, “Selamat Pagi! Boungiorno!” Dalam waktu singkat tahulah saya bahwa mereka orang Italia Pak Massi atau lengkapnya Massimiliano de Reviziis tak lain adalah pemilik penginapan di pulau yang hendak saya tuju, sedangkan Mikel merupakan instruktur dive kepercayaannya. Pantas saja penumpangnya hanya kami bertiga, sebab tetamu lainnya baru akan diberangkatkan tengah hari. Kemarin saya dihubungi stafnya agar berangkat pagi-pagi saja. Tentu saya bersukacita, sebab terus terang, saya lebih menyukai perjalanan laut pagi ketimbang siang hari.
Sekoci pun dengan gesit membelah laut di antara puluhan kapal yang bersandar di Labuan Bajo. Langit biru cerah dan matahari memapar suam. Hari yang afdal untuk anjangsana ke pulau-pulau, laut, dan pantai.
Ada sekitar 260-an pulau kecil di sekitar Labuan Bajo, hanya 30 pulau yang masuk dalam zona lindung Taman Nasional Komodo. Artinya, masih banyak pulau yang dapat dikembangkan untuk wisata bahari, selain yang menjadi habitat Varanus Komodensis. Nah, hari ini saya akan bertandang ke salah satu pulau yang tidak termasuk dalam zona lindung tersebut. Namanya Pulau Sebayur. Terletak di sebelah barat Pulau Kanawa. Sebagian kecil pulau ini dimanfaatkan untuk wisata dengan menghadirkan penginapan pinggir pantai. Pak Massi memilih mendirikan Xpirates Camp disana. “Sesuai namanya, ini bukan resort mewah, saya hanya membangun perkemahan. Konsepnya sangat natural, karena memang saya menyukai kealamian dan keheningan,” terang lelaki itu dengan gestur khas Italia. Sepertinya kami menyukai hal yang sama
Tidur di Dalam Pondok
Setelah 40 menit tangkas meluncur, sekoci pun merapat ke sisi utara Pulau Sebayur yang sangat lengang. Karena laut sedang surut, sekoci berhenti di batas koral, dan dari arah penginapan, sebuah speed boat mungil menjemput kami.
Ini seperti masuk ke sarang bajak laut. Saat menjejaki pantainya, saya menyadari tempatnya begitu alamiah. Lereng bukit cadas yang langsung menghadang, pepohonan menyembunyikan pondok-pondok sederhana, lambang bajak laut terpampang, dan kawanan burung gagak terus berkitar dengan suara menggelegar. Saya seolah salah satu tamu di kediaman Captain Jack Sparrow. Untung saja staf-staf disini tidak berkostum bajak laut!
Soal makan, disini ternyata dilayani dengan sepenuh hati. Serasa tidak sedang berada di pulau terpencil, hidangannya beraneka. Barangkali lantaran pemiliknya orang Italia, hal-hal terkait urusan perut memang prioritas. Tambah lagi terdapat resto dekat tebing berpanorama menawan.
Saya tidak menepis hasrat untuk menceburkan diri ke dalam laut. Mikel malah iklas meminjamkan saya kamera kedap air untuk memotret ikan serta koral. Kondisi terumbu tidak begitu spektakuler, atau mungkin saya belum mendapatkan titik yang tepat. Toh, saya sempat bersua seekor Pari Bintil Biru (Blue Spotted Stingray).
Mendaki Bukit
Satu elemen alam yang paling saya sukai adalah bukit. Selalu antusias kalau kemana saja bertualang melihat bukit. Termasuk ke pulau-pulau kecil. Sebagai orang yang gemar mendaki, suka jalan kaki, dan senang berada di ketinggian, hampir setiap destinasi alam yang saya datangi targetnya ada hiking, tidak musti bukit yang menjulang, asalkan bisa melihat panorama lapang dari ketinggian.
Pulau Sebayur berbentuk seperti otak manusia, sebagian besarnya terdiri atas bukit sabana, sama seperti pulau-pulau lainnya di Taman Nasional Komodo. Tanahnya berwarna merah. Bukit di sisi utara lebih tinggi dari bukit di sisi selatan. Namun saya tetap tertarik untuk mendakinya demi mendapatkan pemandangan lebih luas.
Sore pertama saya hanya mampu mencapai bahu bukit sebelah barat. Kendati vistanya memikat tapi saya belum puas. Keesokannya saya kembali mendaki lebih awal, sekitar jam 3.00 sore. Matahari masih menyengat, namun saya mencoba pelan-pelan merayapi bagian yang curam. Ini saya tempuh agar berada lebih lama di atas ketinggian saat senja.
Taktik ini jitu, mengingat tidak ada pohon untuk berteduh selama mendaki, satu-satunya cara yakni bergerak lebih lambat guna menghemat tenaga. Dari Xpirates Camp hingga ke puncak bukit, kurang lebih sama levelnya dengan mendaki di Pulau Gili Lawa yang baru-baru ini terbakar. Dari atas ini saya bisa melihat lebih jelas sejumlah pulau-pulau mungil tak berpenghuni di sisi barat Sebayur. Ada Pulau Nusa Batumandi, Pulau Sebayur Kecil, Pulau Klepor, Pulau Mangiatan, Pulau Siaba, hingga Pulau Tatawa. Sangat menawan.
Saya menanti momen matahari tenggelam sendirian di atas bukit. Benar-benar hanya ditemani desau bayu yang menyapu alang-alang. Tenteram dan khidmat mengamati cakrawala berubah warnanya, dari biru ke jingga, merah ke violet. Saya baru memutuskan pulang saat jangkrik-jangkrik mulai berderit. Perjalanan turun bukit tidaklah sesulit ketika mendaki.
Esok paginya, seorang tamu penginapan mengajak berkeliling pulau dengan sekoci kecil. Saya tidak menolak keberuntungan itu. Kami mampir di sebuah resort di sisi selatan Sebayur, dimana karang-karangnya amat subur berlimpah ikan. Lantas beralih ke Pulau Sebayur Kecil yang pantai pasir putihnya membentang panjang di tepi utara. Saya mengingat rupa pulau ini saat mendaki puncak bukit sore sebelumnya. Disini bayu pun bertiup, meski di siang hari membuat mata terkantuk-kantuk. Yang jelas, saya tidak memikirkan hal-hal yang rumit. Demikianlah kalau berada di pulau kecil dengan pantai nan aduhai.