Udara dengan suhu minus 9°C dan oksigen yang menipis, adalah tantangan yang tidak gampang bagi siapapun.
Setelah berhasil mendaki ke EBC Maret 2023 lalu, siang ini, 25 Februari 2024 kami sudah dalam Penerbangan Batik Air Jakarta - Kathmandu via Kuala Lumpur untuk kembali mendaki di Pegunungan Himalaya, di Annapurna Circuit. Rombongan kali ini lebih banyak dari sebelumnya, 28 orang.
Bermula ketika di akhir tahun 2022, Achmad Hasan (Direktur Niaga Lion Air) bersama pengusaha Chandra Bong punya ide untuk menjajal pendakian ke Everest Base Camp (EBC). Ide ini kemudian ditawarkan ke beberapa kawan lainnya dan dilakukanlah perjalanan itu di Maret 2023. Sebanyak 20 orang di tahun 2023 terbang ke Kathmandu dan menyelesaikan dengan baik misi EBC hingga ketinggian 5.346 mdpl.
Saat kembali dari EBC — di Hotel Marriott Bonvoy Kathmandu disepakati tahun 2024 tim akan menjajal Annapurna Circuit dengan target Thorong-La Pass (5.418 M dpl).
Berfoto di depan lobby Marriott Bonvoy sebelum menuju Besisahar.
Ternyata peserta menjadi lebih banyak. Bahkan peserta tertua makin menua: Andi Chandrawinata (73 tahun). Ada juga Guru Besar Unhas Prof Aidir Amin Daud (65 tahun) dan Pemilik Manorian Grup Makassar Hendrik Wintery (62 tahun), CEO Super Air Jet, Ari Azhari (62 thn), Mantan Bupati Atambua, Willybrodus (63 thn). Peserta termuda CEO Dream Tour, Muhamad Umar Abdul Azis (26 thn). Peserta lama tetap lengkap: Achmad Hasan, Chandra Bong, Handoko Prawirohardjo, Reza Amir Balfas, Stanley Annjaya, Suryadi Suryadhamma, Makhfud Sappe, Ronih Tjhang, Sendy Pranata, Irwan Sek, Erpan Setiawan, Gregory Wintery, Rheza Novianto, Theodorus Chapin, Fauzan Elyafei (Pimpinan Rombongan), Jarno Jahya, Alfonsus G Wijaya, Erwan Suhardi, James Tumbelaka, Stefanus Jono, Rudy S Jaya, dan Christian Kurniawan.
Kami tiba pukul 10 malam di Bandara Tribhuvan, Kathmandu dijemput oleh Niraj Shakya trekk-leader yang akan memandu kami ke Annapurna Circuit. Rombongan langsung ke Hotel Marriott Bonvoy.
Mulai 1 April 2023 Badan Pariwisata Nepal (NTB) mengharuskan semua pendaki solo maupun grup yang mengunjungi wilayah pegunungan dan Taman Nasional Nepal didampingi oleh pemandu yang berlisensi.
Dari kiri ke Kanan : Stefanus Jono, Chandra Bong, Rudy S. Jaya, Irwan Sek, dan Erpan Setiawan.
Kiri ke Kanan : Achmad Hasan, Hendrik Wintery, Rheza Novianto, dan Gregory Wintery.
Foto : Makhfud Sappe
Hari Pertama, sekitar pukul sembilan semua sudah siap di lobby, pagi ini kami akan menuju Besisahar, perjalanan kurang lebih delapan jam melalui jalan yang rusak dan penuh debu. Ada enam Jeep Pajero yang akan membawa kami ke Besisahar.
Saya berada di jeep yang kelima bersama dengan Prof Aidir, Sandy, Willy, dan Andy. Iring-iringan jeep meninggalkan Kathmandu menuju arah Pokkhara. Menjelang magrib kami sampai di Besisahar, tempat menginap rombongan malam ini.
Hari kedua, Rute Besisahar - Chame. Para pendaki yang akan ke Annapurna Circuit biasanya mulai dari Besisahar. Treknya melalui lereng-lereng bukit yang rawan longsor, jeep harus bergerak pelan karena jalanan sempit dan berbatu.
Roda mobil berada sekitar 20-30 cm dari tepian jurang. Dengan rata-rata usia Jeep Pajero ini sudah di atas 25 tahunan — supir yang mengantarkan kami serasa tak punya rasa takut sedikitpun. Terus berlari kencang dan mengikuti tanjakan yang sesekali terasa berliku. Sebelah kiri tebing gunung batu dan sisi kanan jurang.
Mampir istirahat sejenak di teahouse di Desa Chamche dengan pemandangan ke air terjun .
Pemerintah Nepal sudah mulai memperketat pengunjung ke Pegunungan Himalaya, selama perjalanan ke Chame kami diberhentikan dua kali oleh polisi untuk memeriksa izin dan kelengkapan surat jeep.
Akhirnya kami tiba di Chame sore hari. Ini malam pertama kami tidur di penginapan/tea house di jalur pendakian. Cuaca sudah mulai terasa dingin, di malam hari suhu sudah di bawah 0°C. Chame berada di ketinggian 2.670 mdpl masuk dalam area Distrik Manang.
Keesokan harinya atau hari ketiga, kami mulai berjalan kaki dari Chame menuju Upper Pisang. Setelah makan pagi rombongan bersiap diawali doa bersama. Kami berjalan melalui jalan desa, sesekali ada mobil yang lewat mengangkut barang dan penduduk lokal. Di tengah perjalanan kami mampir di kafe kecil kebun apel.
Setelah berjalan sekitar enam jam kami sampai di Upper Pisang. Rombongan langsung ke dining room istirahat sambil menungggu pembagian kamar, dari jendela terlihat puncak Annapurna II.
Kiri ke Kanan :Erpan Setiawan, Chandra Bong, Aidir Amin Daud, dan Sek Irwan, istirahat sejenak dalam trek ke Upper Pisang. Foto : Makhfud Sappe
Kiri ke Kanan : James Tumbelaka, Erwan Suhardi, Jarno Jahja, Stefanus Jono, Rudy S Jaya, Hendrik Wintery, Gregory Wintery, Chandra Bong, Achmad Hasan, dan Muhamad Umar Abdul Azis.
Berfoto sebelum meninggalkan Upper Pisang.
Kiri kanan : Makhfud Sappe, James Tumbelaka, dan Theodorus Chapin. Duduk : Achmad Hasan.
Aklimatisasi di Manang
Pagi ini kami menuju ke Manang (3.440 mdpl) dari teahouse tempat kami menginap jalan turun melewati jembatan kecil dan Tibetan prayer wheel sebelum melewati Desa Lower Pisang.
Pemandangan semakin menakjubkan. Di awal pendakian Puncak Annapurna II terlihat di sebelah kiri. Trek ini cukup panjang dan melelahkan. Mendekati Manang landscape semakin indah, dari jauh terlihat Ghangapurna dan Tilicho Peak.
Sore hari semua sudah sampai di Manang (3.440 mdpl) rombongan menginap di Yeti Hotel. Disini kami akan aklimatisasi - artinya besok tidak ada trek. Saya dan Prof Aidir dapat kamar lantai satu - terpaksa harus naik turun tangga kalan mau ke ruang makan yang berada di lantai tiga. Dengan kondis oksigen yang agak menipis -- membuat kami harus ngos-ngosan setiap naik dan turun tangga.
Dari semua desa yang dilewati falisitas hotel di Manang ini yang paling bagus, juga ada beberapa toko yang menjual perlengkapan pendaki. Manang tempat para pendaki melakukan aktimalisasi.
Hari berikutnya lebih banyak berdiam istrahat di ruang makan, beberapa pergi belanja perlengkapan mendaki di toko sekitar hotel.
Hari keenam Manang (3440 mdpl) - Yak Kharka (4020 mdpl)
Dari hotel belok kiri melewati rumah penduduk. Jalan semakin menanjak view kiri kanan semakin indah, gugusan puncak-puncak Annapurna berbalut salju. Kami melewati desa kecil sebelum berjalan di area terbuka, cuaca semakin dingin. Vegetasi mulai berubah, tidak terlihat lagi pohon-pohon besar tapi bergantí dengan tanaman perdu atau semak, sebagian besar tertutup salju. Sepanjang trek angin dingin berhembus kencang, hujan tipis salju mulai turun.
Kami tiba di Yak Kharka sore hari. Cuaca semakin dingin, salju di luar semakin tebal. Atap bangunan sudah tertutup salju. Kami lebih banyak berkumpul dalam ruang makan yang dilengkapi pengapian sebagai penghangat.
Rombongan kami berjumlah hampir tiga puluh orang ditambah porter dan asisten trekk lebih sepuluh orang memenuhi ruang makan lantai satu dan dua. Malam hari suhu mencapai minus 19 C, di luar salju semakin tebal.
Hari ketujuh. Pagi-pagi kami siap jalan, duffle bag sudah diberikan ke porter. Tumpukan salju di jalanan semakin tebal. Hari ini kami harus menggunakan crampon di sepatu dan gaiter di kaki untuk melindungi supaya salju tidak masuk ke dalam sepatu.
Sekitar pukul delapan pagi kami mulai jalan, tujuan berikutnya adalah Thorong Phedi (4.450 mdpl). Jalanan penuh salju, sepatu sudah tenggelam, mulai sulit melangkah. Setelah berjalan sekitar 15 menit diputuskan untuk menunda perjalanan hari ini ke Thorong Phedi, kami kembali ke hotel. Tas-tas di masukkan lagi ke kamar, beruntung masih bisa dapat kamar.
Betapa sulitnya berjalan dengan kaki terbenam di timbunan es. Mengangkat kaki untuk melangkah bukanlah pekerjaan yang mudah. Udara dengan kedinginan minus 10 dan oksigen yang menipis, adalah tantangan yang tidak gampang bagi siapapun. Belum lagi karena timbunan salju yang melebihi sepatu — memungkinkan salju akan menyelinap masuk ke dalam sepatu. Mendinginkan kaki dan bahkan bisa membekukan bagian terluar dari telapak dan anak-anak jari kaki. Ini tantangan tersendiri jika harus berjalan sejauh 8 Km dengan situasi seperti itu. Inilah alasan mengapa Niraj selaku trek leader meminta kami semua balik ke hotel.
Kami habiskan hari di ruang makan, untunglah ada wifi. Sebelum makan malam Fauzan, pimpinan rombongan dan Niraj mendikusikan segala kemungkinan. Menunggu sampai hujan salju redah, tetap melanjutkan perjalanan dengan kondisi jalanan penuh salju, atau balik ke Manang. Malam ini adalah hari ketujuh di jalur pendakian.
***
Semua berkumpul di Dining Room — di ketinggian 4 ribuan mdpl di Annapurna Circuit, Himalaya. Niraj Shakya — trekk-leader pendakian — mengumpulkan semua peserta. Hujan salju masih terus turun. Seharusnya hari ini kami melanjutkan perjalanan ke Thorang Phedi tapi tertunda karena hujan salju sejak kemarin sore sudah menumpuk setinggi 20-30 cm.
Kami berharap bisa lanjut pada Kamis pagi. Namun ternyata, hingga malam ini tak ada tanda-tanda hujan salju akan reda. Niraj juga mendapat laporan dari beberapa sherpa (pemandu pendakian) bahwa badai salju di Thorong-La Pass juga sudah berada di posisi: ditutup oleh otoritas Nepal.
Dengan suara terbata-bata — Niraj meminta maaf dan agar kami semua memahami bahwa alam tak bisa dilawan oleh siapapun. Bahwa ia setelah berkonsultasi dengan Pimpinan Tim Fauzan Elyafei dan Pengarah Tim Achmad Hasan — mengambil keputusan bahwa misi harus dihentikan dan kita tidak mungkin melanjutkan pendakian.
Jika besok udara cerah dan matahari bersinar tetap dibutuhkan waktu 2-3 hari untuk mencairkan timbunan salju yang menutupi trek pendakian hingga setinggi lutut orang. Tak mungkin berjalan selama 8 jam dengan kaki yang mungkin ‘membeku’.
Annapurna memang terkenal karena ke-ekstriman cuacanya. Mungkin karena itu tingkat kematian di kawasan Annapurna berdasarkan catatan di Google tertinggi di dunia (bandingkan Everest yang berada di ranking ke-8).
Semua peserta tertunduk lesu tetapi harus memahami keputusan itu. Beberapa di antaranya mencoba memberikan argumentasi dan saran agar misi tetap dilanjutkan. Namun Niraj memberikan satu kata kunci, bahwa ia belasan tahun bolak-balik mengantar tim dan tak pernah mengalami cuaca se-ekstrim ini.
Sesuai kutipan Sir Edmund Hillary — penakluk Mt Everest pertama, “Human life is far more important than just getting to the top of a mountain.” Keselamatan peserta adalah segala-galanya. Thorong-La Pass tetap akan ada. Kapan saja bisa dikunjungi.
Meski semangat amat besar dan sebagian tetap ingin menjajal trek yang diselimuti salju, tetapi keputusan trekk-leader dan pimpinan tim harus dihormati. Mengutip kata bijak Cina: Ren de jihua bu ruo Thian de jihua. Manusia berencana dan berkeinginan tetapi takdir Tuhan pasti yang terbaik. Hambatan alam adalah takdir yang harus kami terima.
Kamis pagi meski tetap dengan trek yang tertutup salju kami tetap harus turun ke bawah hingga Manang untuk bisa mendapatkan kendaraan kembali ke Kathmandu.
Kami harus bermalam di Manang dengan cuaca sekitar minus 10 C dan paginya menunggu jeep yang akan membawa kami ke Besisahar.
Meski berada di atas jeep — perjalanan masih menegangkan karena melewati jalan tertutup di sisi tepian jurang tanpa pembatas. Sesekali rombongan harus berhenti dan menggunakan sekop membongkar tumpukan salju yang terlalu tinggi dan menghambat jalannya jeep kami. Manang-Besisahar harus ditempuh sekitar 12 jam dan dilakukan dua kali penggantian kendaraan.
Kami harus bermalam di Besisahar sebelum ke Kathmandu untuk menunggu penerbangan ke Kuala Lumpur sebelum lanjut ke Jakarta.
Semua peserta bertekad untuk ‘membayar utang’ mereka untuk suatu waktu akan berada di titik 5.418M dpl di Thorong-La Pass.
Kali ini kami terhambat di ketinggian 4 ribuan mdpl tetapi asa dan tekad tak pernah padam. Sebagian peserta — meneriakkan kata ini saat makan bersama di Yeti Hotel Manang yang sederhana: tak ada kata menyerah dalam darah kami. Mengutip kata Nirmal Purja, warga Nepal pemecah rekord menaklukan 14 puncak 8000 mdpl ke atas dalam waktu kurang dari tujuh bulan. Kita harus kembali. Semoga.****