"No urut 5," teriak salah satu petugas di Pos Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Rest Area 1 B29, Desa Argosari, Lumajang, Jawa Timur. Teriakan itu ditujukan ke kerumunan ojek-ojek yang berjejer rapi.
Sejurus kemudian, seorang remaja bersarung keunguan mempersiapkan motornya dan menyapa saya dengan ramah. Bersamanyalah saya akan diantar menuju Puncak B29.
Puncak B29 memang berbeda dibanding gunung-gunung lainnya di Indonesia. Menuju puncak ini, wisatawan tidak perlu bersusah payah trekking hingga ke puncak. Sepanjang jalan sudah beraspal mulus hanya beberapa meter menjelang puncak saja yang masih berkontur tanah padat. "Jalur ini sudah dibuka sejak 1 tahun yang lalu, awalnya memang sulit, apalagi di jalur tanah, tapi lama kelamaan jadi terbiasa," ujar Agay, Pengojek yang mengantar saya ke puncak.
Akses menuju ke puncak ini semakin mudah dan terkoordinasi setelah Kopdarwis membentuk ojek Kopdarwis yang saat ini dipusatkan di Rest Area 1 Puncak B29. "Sudah sebulan lebih ini ada ojek Kopdarwis, hal ini untuk mengantisipasi semakin banyaknya ojek liar yang kerap mengejar pengunjung sedari awal masuk kawasan Argosari. Hanya dengan bayar Rp. 60.000 wisatawan bisa diantar pulang pergi ke Puncak B29," ujar pria yang merupakan keturunan Suku Tengger di Desa Argosari ini.
Cerita B29 dan Suku Tengger
Sepeda motor terus dipacu menembus kabut dini hari Desa Argosari. Agay hanya mengandalkan sarung yang dia kalungkan di leher setiap hari untuk menembus pagi. Sesekali ia menyarankan saya berpegang erat karena jalur yang dilewati adalah tanjakan yang cukup curam. Tidak jarang pula ia menyarankan untuk memegang sarungnya untuk menghindari tangan dari sergapan udara dingin.
Sarung yang digunakan Agay ini menjadi pembuktian bahwa masyarakat Suku Tengger sangat identik dengan sarung. Saya sempat berbincang santai dengan Budiyanto, Ketua Kopdarwis Argosari beberapa hari sebelumnya. Dari informasinya saya ketahui bahwa ciri khas Suku Tengger itu adalah penggunaan Sarung Goyor dan Udeng Wangsu.
“Ikat kepala atau disebut Udeng Wangsu tidak simpul mati. Di belakang, ada bagian yang menghadap ke atas. Hal ini menunjukan ke Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan di depan ada bagian yang ke bawah ini artinya kami hidup ini harus rendah hati,” ungkap Budi.
Jika Udeng Wangsu mengacu pada filosofi hidup Suku Tengger, sarung memiliki pemaknaan sebagai identitas diri. Budiyanto menjelaskan, jika perempuan menggunakan simpul kekaweng sedangkan laki-laki menggunakan simpul lampin. “Tiap simpul sarung di perempuan bisa berbeda-beda, ada yang menunjukan dia sudah menikah, masih sendiri dan juga sudah ada yang meminang. Tapi kalau laki-laki lebih menunjukan ke aktivitas,” jelas Budi.
Tidak hanya pakaian sehari-hari yang mengandung nilai filosofis, penamaan B29 ini pun juga punya arti tersendiri. Diceritakan oleh Budi, dahulu legenda Joko Tengger menamakan puncak ini dengan sebutan Songolikur yang dalam bahasa Indonesia berarti 29. Hal ini diambil dari 25 unsur sifat-sifat manusia ditambah 4 tujuan hidup manusia, yakni menuntut ilmu pengetahuan, untuk mencari pekerjaan atau kesejahteraan dn berkeluarga. Setelah tahap tersebut yakni biksuka (sudah menjauh ikatan duniawi atau orang dulu bertapa) dan yang terakhir moksa (berkaitan dengan kematian).
Namun seiring semakin populernya puncak ini, beberapa tahun yang lalu beberapa organisasi pariwisata naik dan mengadakan penelitian kecil untuk mengukur ketinggian, dan ternyata ketinggiannya tepat 2900 mdpl. “Jadi sebenarnya B29 itu tadinya hanya mengacu pada namanya zaman dulu tapi ternyata setelah diukur ketinggiannya benar-benar 2900 mdpl. Kami tambahkan B di depannya mengacu ke singkatan bukit,” ungkap Budi.
Pertanian dan Matahari Terbit di Puncak B29
Yang menarik dari keseharian Suku Tengger adalah cara mereka bertani di tebing yang memiliki kemiringan hampir 60 derajat. Desa Argosari memang merupakan kawasan perbukitan dan berada di kaki Gunung Semeru. Komoditas utama mereka adalah bawang, kubis, kentang dan sayur-sayur hortikultura.
Di Desa Argosari ini dominan memang tanaman bawang. Tidak mengherankan sepanjang perjalanan saya menuju puncak, daun-daun bawang yang keluar dari dalam tanah menjadi pemandangan tersendiri. Pola pertanian di tebing ini juga turut memberikan lansekap yang istimewa bagi perbukitan Argosari. Dari ketinggian wilayah-wilayah yang sudah ditanami komoditas pertanian membentuk pola-pola yang rapi.
Lasap-lasap langit gelap berganti kebiruan. Guratan jingga tebal menandakan matahari sebentar lagi akan muncul. Rona jingganya kian menebal di balik punggung Gunung Raung yang terlihat jelas dari puncak gunung. Panorama perbukitan kian percantik momen matahari terbit ini. Perlahan matahari kian meninggi menyinari kebun bawang di Puncak B29. Di sisi lainnya, kawasan Bromo mulai terlihat jelas.
Sayangnya saya tidak mendapatkan momen awan tebal di dasar Gunung Bromo. Namun seiring matahari yang kian tinggi, gugusan gunung dan padang pasir Bromo yang ikonik tetap memberikan kesan luar biasa. Ya, dari Puncak B29 inilah salah satu lokasi tepat untuk menikmati panorama Gunung Bromo. Puncak B29 adalah sisi lain Bromo dengan kearifan lokal yang terjaga dan budaya yang masih melekat erat. Sepanjang mata memandang, yang terlintas di benak adalah Suku Tengger yang bersahaja.