BELAKANGAN ini kesehatannya nyata sekali menurun. Dokter-dokter sibuk dan bingung dibuatnya. Sebentar-sebentar ia mengeluh sakit pinggang. Belum lagi itu sembuh, muncul gangguan lain, jantung berdebar kencang. Sementara dokter yang memeriksa ingin tahu mengapa jantung itu tiba-tiba begitu sibuk, timbul lagi gejala baru berupa kerongkongan terasa menyempit dan suara mengecil terjepit. Lalu... suhu badannya melonjak ke atas, kepala berdenyut seakan mau meledak. Pokoknya, macam-macam penyakit berebutan tempat dalam tubuhnya, atau barangkali lebih tepatnya "yang dirasakannya".
Seluruh waktunya boleh dikatakan dihabiskannya di rumah saja. Ia amat sulit dijumpai. Memang dokter-dokter yang merawatnya sangat membatasinya untuk menerima tamu. Otaknya tidak boleh diberi kesibukan. Untuk sementara ia dilarang membaca koran. Ia harus istirahat penuh.
****
TOKOH kita ini seorang pejabat. Ia kini berada di penghujung masa jabatan pertama selaku bupati kepala daerah di sebuah wilayah subur. Jabatannya ini ramai diincar orang. Macam-macam cara ditempuh oleh orang-orang yang merasa pantas dan berhak untuk menduduki jabatan empuk itu. Ada yang mendekatkan diri pada kekuatan sospol yang menentukan. Ada yang mencoba "mengajudankan diri" pada pejabat yang lebih tinggi dan menentukan. Ada yang kasak-kusuk ke sana kemari. Ada juga yang melicinkan jalan dengan menaburkan uang. Bahkan ada pula yang sibuk berkonsultasi dengan para dukun. Disebut "para" dukun karena yang dihubungi bukan hanya seorang dukun, tetapi semua dukun yang terkenal atau tidak, termasuk yang berdomisili di wilayah Jawa Timur, atau wilayah-wilayah lainnya.
"Perjuangan gigih" orang-orang yang merasa pantas dan punya "hak sejarah" itu gemuruhnya tidak dapat disembunyikan. Kedengaran dan ketahuan di mana-mana. Sang Bupati, yang kini berada di penghujung masa jabatan itu, merasa diintip dan mau direbut jabatannya justru oleh teman-teman dekatnya sendiri. Ini yang terutama mengganggu batinnya. Ia merasa dihadang di dalam langkahnya menuju "masa jabatan kedua". Padahal langkah menuju "masa bakti lima tahun" lagi itu dirasanya sebagai langkah yang sangat berkemungkinan. Menurut perhitungan dan data yang ada, ia cukup berprestasi. Selama ini, "atasan" cukup menghargainya. Tetapi teman-temannya kelihatannya tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat mencicipi nikmat kursi bupati. Segala cara, sah dan halal atau tidak, ditempuh demi mencapai tujuan.
Tingkah laku teman-temannya itu, yang selama ini diperlakukannya sebagai sahabat terpercaya, sangat melukai hatinya. Ia kehilangan kepercayaan terhadap makna persahabatan. Ia merasa sendirian, cemas, frustrasi dan terancam. Semangat perjuangannya lumpuh, daya tahan tubuhnya menguap. Rupa-rupa penyakit bermunculan. Dokter-dokter yang merawatnya kian sibuk dan kian bingung dibuatnya. Sebagai orang "Melayu", dokter-dokter itu tak mampu berterus terang. Akibatnya, pasien yang semakin kurus dan pucat itu secara fisis dan psikis betul-betul menderita sakit.
****
IA jadi pendiam, kehilangan nafsu bercerita, kehilangan rasa humor. Sebelum merasa kedudukannya diincer orang, ia senang sekali bercerita tentang segala hal. Topik apa saja yang kita hadapkan pasti disambutnya hangat. Bahkan kelewat hangat. Sampai-sampai kita tidak kebagian lagi kesempatan.
Jika ia bercerita, yang selalu menjadi titik fokus adalah "aku"nya. Kepada siapa saja, ia selalu memberi kesan mahatahu. Bicara tentang volly, sepakbola, basket, renang, menembak, jangan coba mulai di depannya. Ia akan memborong semuanya. Mau coba bicara soal kesenian, teater umpamanya? Maka ia akan bercerita panjang-lebar tentang pengalamannya dulu sebagai pemain sandiwara yang tak tertandingi. Bahkan, selain itu, ia juga seorang sutradara yang pernah meraih sejumlah piala. Mau bicara soal perjuangan di masa revolusi fisik dulu? Ia akan menepuk dada sambil memberi kesan kuat bahwa pejuang-pejuang yang lain, semua berada di bawah derajatnya.
Ngomong dengannya, memang terasa sangat melelahkan. Tetapi sekali-sekali, apa boleh buat. Terpaksa. Ia seorang bupati. Sebagai warga yang bertempat tinggal di wilayah kekuasaannya, sekali tempo mesti berurusan dengannya. Urusan itu akan macet kalau kita tidak bersedia menyenangkannya. Cara paling efektif untuk menyenangkannya adalah menjadi pendengar yang patuh!
****
SEMUA orang tahu bahwa ia masih ingin sekali jadi bupati. Ia berusaha mati-matian untuk dapat memasuki masa jabatan kedua. Macam-macam cara telah ditempuhnya, tetapi ambisinya itu disembunyikannya sedemikian rupa. Ia selalu menampakkan yang sebaliknya. Di hadapan orang-orang ia tandaskan: "Amat bodoh orang yang ingin jadi bupati; jabatan itu sangat melelahkan dan memendekkan umur!" Orang-orang cuma tertawa dalam hati mendengar pernyataan tersebut.
Coba, siapa yang tidak ingin jadi bupati? Sebagai penguasa tunggal di daerah (Tk. II), terbuka peluang untuk mengabdi kepada rakyat dan membuktikan kemampuan sebagai pemimpin dan administrator, atau... menggunakan kesempatan mengumpulkan harta-benda, yang merupakan pesona "utama" di masyarakat yang berkecenderungan materialistik ini. Memang tragis. Bupati yang jadi pendiam itu belum sempat membuktikan kemampuannya sebagai pemimpin yang tangguh, dan juga belum sempat mengumpulkan harta-benda yang memadai, tahu-tahu masa jabatan sudah hampir berakhir. Sementara itu, orang-orang di sekitarnya hanya memperhitungkan nasibnya sendiri-sendiri.****