berbicara-melalui-kain
Goethe-Institut Indonesien menggelar seri pameran GoetheHaus Foyer edisi kedua bertajuk "Berbicara Melalui Kain” | Doc: Goethe-Institut Indonesien
Art & Culture
Berbicara Melalui Kain
Faisyal Chaniago
Thu, 16 Nov 2023

Goethe-Institut Indonesien menggelar seri pameran GoetheHaus Foyer edisi kedua bertajuk "Berbicara Melalui Kain” karya seniman kriya tekstil asal Malang, Lusiana Limono, pada 11 November-3 Desember 2023.

Karya-karya Lusiana mengajak kita untuk mempertanyakan gagasan yang sudah ada, dan menata ulang potensi tekstil dan kriya dalam membentuk kesadaran kolektif.

Karya-karya pameran ini mulai diriset dan buat Lusiana, sejak ia melanjutkan kuliah di pascasarjana di Institut Kesenian Jakarta, tahun 2019 hingga 2022, dengan kuratori Christine Toelle.

Bagian-bagian dari pameran ini terdiri dari kumpulan karya dengan subjudul ‘Menyulam Ruang, Merajut Kisah, Menenun Makna, Mengikat Waktu’. Frasa-frasa ini mencerminkan semangat dan pengalaman hidup perupa.

Ingo Schöningh, Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien menjelaskan, pemeran ini merupakan kombinasi antara produksi tenun yang melibatkan perempuan, dengan praktik aktivis kain. Karya ini hadir sebagai kritik terhadap produksi industri.

“Ini merupakan bentuk kepedulian. Menjembatani ranah estetika dan keseharian. Karya Lusiana secara ekspresif menggabungkan aspek-aspek estitika dan kepedulian,” tambah Ingo Schöningh.

Latar belakang keluarga Lusiana berasal dari lingkungan kain, ibu dan beberapa tantenya merupakan penjahit. Adapun ayahnya dan keluarga suaminya adalah pedagang kain. “Kain adalah sesuatu yang sudah melekat dengan diri saya. Di situ, saya melihat ada ruang permasalahan antara perempuan, kain, dan ruang domestik,” kata Lusiana.

Keragaman teknik dan keramah-tamahan bahan yang digunakan dalam karya Lusiana mencerminkan kekayaan kain, dan material alam yang turut membentuk dunia modern.

Salah satu material yang digunakan Lusiana adalah rempah. Christine, selaku kurator, menyampaikan bahwa keberadaan rempah-rempah dalam narasi sejarah perempuan Indonesia dapat ditemukan baik dalam narasi ‘besar’, sebagai simbol komoditas kolonial, maupun dalam cerita yang lebih ‘kecil’ dan ‘periferal’.









Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru