Ritua Tenun diawali dengan pagelaran budaya bernama Maatenu pakapita, sebuah ritus tua yang dalam bahasa lokal Maluku lebih dikenal dengan Cakalele Pelauw. pagi-pagi buta pada hari Kamis dipertengahan bulan Jumaddil Ula,seluruh peserta ritul memulai prosesi penyucian diri dengan mandi di fajar pertama.
Air menjadi lambang kesucian dan pembaruan. Setelah kembali ke rumah, lalu keluar dengan membawa peralaan dan perlengkapan kemudian mereka berkumpul di rumah-rumah Soa (cabang) masing-masing dan selanjutnya menyatu di satu Soa Induk dimana menjadipos terakhir tiap pasukan dari Empat kelompok Soa sebelum berangkat menapaki jalur ziarah menuju kawasan pegunungan Aman Hatua-bekas pemukiman lama Hatuhaha pra kolonia.
Keempat Soa menempuh jalur berbeda : Kelompok Laturima menuju kawasan kuno di Matasiri, kelompok Urat Roho Rima menuju Wael Urui (Kepala Air), kelompok Sahalesi menuju Gunung Sialana, dan kelompok Poiwaka menuju Asari Mahu serta Tunimahu Waelapia. Jalur-jalur ini bukan sekadar rute, melainkan sebuah lintasan sejarah peradaban masa lalu.
Sebagai contoh di wilayah Urat Roho Rima, peserta melewati kawasan Natapoki, Teput, Kunumasele, Kakiandian, dan sekitarnya, tempat makam-makam leluhur dan sisa pemukiman kuno masih menjadi saksi bisu perjalanan panjang masyarakat Pelauw dan Hatuhaha. Usai napak tilas,doa, dan ritual diselesaikan, seluruh pasukan kembali ke Pelauw,dipimpin oleh kelompok Laturima yang pertama memasuki pelataran Tauaen – pelataran depan masjid dan Baileo. Disini disepanjag jalan pulang hingga memasuki Tauwamen, para peserta Cakalele menarikan gerakan sakral penuh semangat dengan hentakan kaki disertai raungan dan pekikan panjang sambil menghunus pedang dengan tanpa rasa takut sedikitpun melukai tubuhnya.
Hentakan kaki dalam keadaan trans yang semakin dalam karena larut dan menyatu padu dengn gendangan tifa dan syair-syair kapata suci yang terus mengumandag diudara pelataran negeri. Tubuh seakan menjadi kanvas keberanian,dan setiap gerak seperti menjadi doa yang hidup.
Setelah prosesi, para perempuan paruh baya berbusana kebaya Kodarane menyambut mereka dengan pengalungan kain sarung merah, sebagai tanda penenangan diri dan pemulihan jiwa setelah “menyatu” dengan kekuatan roh leluhur. Di belakang pasukan Laturima yang sudah memasuki Baileo, menyusul pasukan Urat Roho Rima, lalu Sahalesi dan Poiwaka yang menutup arak-arakan diiringi suara tifa dan lantunan iringan kapata adat.
Selanjutnya : Maalawa Hinia Huwai