Dari halaman rumah hingga kain batik, dari ornamen pada mangkuk bakso hingga upacara adat, ayam ternyata begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Nusantara. Kedekatan inilah yang menginspirasi Museum Batik Indonesia menghadirkan pameran temporer bertajuk ‘Kukuruyuk!: Ragam Motif Ayam dalam Batik Indonesia’.
Menjadi bagian dari perayaan Hari Batik Nasional tahun ini, pameran dibuka secara resmi pada 20 Oktober 2025 di Museum Batik Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pameran akan berlangsung hingga 31 Desember 2025.
Dalam sambutannya, Kepala Museum dan Cagar Budaya Abi Kusno menekankan bahwa ‘Kukuruyuk!’ adalah cermin dari bagaimana nilai, kehangatan, dan filosofi batik Indonesia bisa berangkat dari hal-hal sederhana. Seperti ayam, yang ternyata sarat makna dalam pandangan masyarakat Indonesia.
“Ayam bukan hanya simbol keseharian, tapi juga lambang kesuburan, keberanian, dan semangat hidup,” ujar Abi Kusno. “Dari hal sederhana, kita belajar tentang kedalaman pandangan hidup masyarakat Indonesia.”

Motif yang melintasi waktu dan wilayah
Kehadiran ayam dalam beragam motif batik ternyata melintasi ruang, waktu, dan gaya. Ia hadir dalam batik pedalaman seperti Yogyakarta dan Surakarta, di mana motif ayam digunakan dalam upacara mitoni—ritual tujuh bulan kehamilan sebagai simbol kasih sayang seorang ibu.
Di wilayah pesisir seperti Pekalongan atau Lasem, ayam muncul dalam bentuk motif yang lebih dekoratif. Menghiasi sarung dan kain panjang dengan sentuhan warna cerah dan pengaruh lintas budaya.
Kurator pameran Swa Setyawan Adinegoro menjelaskan, ide pameran ini lahir dari eksplorasi koleksi museum. “Awalnya kami ingin melihat hewan apa saja yang muncul di batik. Tapi justru ayam yang paling banyak dan kaya variasinya. Dari bulu, kaki, hingga bentuk tubuhnya, semua bisa menjadi inspirasi motif,” tutur sosok yang juga seorang kurator koleksi museum di Museum Batik Indonesia..
Sebanyak 26 koleksi batik ditampilkan, terdiri atas 24 koleksi museum dan 2 koleksi pinjaman dari pemerhati batik Nusantara. Swa menjelaskan, ragam motif dan warna dari koleksi-koleksi tersebut memperlihatkan bagaimana ayam bukan hanya objek visual, tapi juga simbol budaya yang berkembang di berbagai daerah dan masa – khususnya di Indonesia..
Batik sebagai cerita dan diplomasi budaya
Pameran ‘Kukuruyuk!’ juga diwarnai berbagai kegiatan seperti workshop, podcast, dan festival batik yang digelar sepanjang Oktober. Dalam pembukaannya, suasana Nusantara terasa kental lewat tari Cendrawasih dari Bali, diiringi gamelan Bali, menggambarkan keindahan dan keanekaragaman hayati Indonesia.
“Batik bukan hanya cermin identitas, tapi juga kisah tentang nilai-nilai bangsa ini. Ia menjadi alat pemersatu di tengah keberagaman,” ujar Giring Ganesha, Wakil Menteri Kebudayaan RI.
Giring mencontohkan batik tiga negeri dari Lasem yang merupakan hasil kolaborasi indah antara budaya Jawa, Tionghoa, dan Eropa. Simbolisasi batik sebagai bahasa universal yang melampaui batas suku dan agama.
Warisan yang terus hidup
Sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda oleh UNESCO pada 2009, batik terus menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Indonesia. Baik sebagai busana, karya seni, maupun identitas nasional.
Melalui pameran ‘Kukuruyuk!’, Museum Batik Indonesia berupaya menghadirkan cara baru untuk mengenali batik—tidak hanya sebagai benda indah, tetapi juga sebagai narasi kebudayaan yang hidup dan berkembang.
“Ayam itu hewan yang sederhana,” tutur Swa. “Tapi dari kesederhanaan itulah lahir kekayaan makna yang begitu dalam. Sama halnya dengan batik—tampak sederhana, namun sesungguhnya menyimpan kisah dan kebijaksanaan.”
Pameran Kukuruyuk!: Ragam Motif Ayam dalam Batik Indonesia dapat dikunjungi mulai 21 Oktober hingga 31 Desember 2025, setiap Selasa–Minggu pukul 09.00–15.00 WIB.
Cukup dengan tiket masuk kawasan Taman Mini Indonesia Indah, pengunjung dapat menikmati perjalanan visual dan budaya yang hangat, jenaka, sekaligus sarat makna — seolah mendengar gema “kukuruyuk” yang mengingatkan akan semangat hidup dan keseharian Nusantara.