Menjelang sore hari hingga malam di Jumat itu, digelar prosesi puncak: Tarian Sakral Tenun. Empat gadis mewakili keempat Soa - Laturima, Urat Roho Rima, Sahalesi, dan Poiwaka - menari di pelataran Baileo dan Masjid Adat dalam iringan Lani atau Kapata Tenun, nyanyian sakral yang menuturkan sejarah leluhur Hatuhaha dan Negeri Pelauw.
Gerak tangan para penari ibarat jemari yang sedang menenun benang kehidupan. Setiap langkah, setiap lenggok, dan setiap ayunan tangan dan liukan jemari menjadi simbol keterikatan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Selama berjam-jam, keempat penari menari tanpa kedipan mata, berada dalam kondisi spiritual yang mendalam. Di sekeliling mereka, 99 perempuan berusia dewasa dan telah menikah melantunkan Lani dalam formasi lingkaran, tangan mereka saling bertautan seperti sulaman benang sebagai lambang kesatuan jiwa dan doa.
Setiap periode Ritual Tenun, Empat Penari ini biasanya diambil dan ditentukan secara bergilir didalam setiap Soa, sebagai contoh di Soa Urat Roho Rima jika tiga tahun kemarin (2022) diambil dari Marga Salampessy maka untuk tahun ini ditentuka bergilir dari Marga Tuankotta, tiga tahun kemudian akan diambil antara Marga Angkotasan, Tualepe atau Tuakia, dimana kelima marga ini adalah bagian dari Soa Urat Roho Rima.demikian pula dengan ketiga Soa lainnya.
Tarian Tenun bukan sekadar sebuah pertunjukan tari belaka, melainkan adalah meditasi kolektif yang mempertemukan masa lalu dan masa kini. Didalam lantunan syair-syair kapata tua, tersimpan narasi migrasi kuno, peperangan, perjalanan, cinta, dan doa untuk negeri yang damai.
Menenun Zaman, Merajut Kehidupan
Ritual Tenun di negeri Pelauw yang dilaksanakan pada setiap tiga tahun sekali tepatnya nanti di minggu pertama bulan Nopember 2025 nanti, bukanlah sekadar warisan budaya saja, tetapi sebagai cermin filosofi hidup orang Pelauw, filosofi hidup orang Hatuhaha yang menyatu dengan alam,menghormati leluhur, dan menjaga keseimbangan dunia. Dari Tarian Pedang/Parang, hingga berlari membawa Benih, darinyanyian Kapata suci hingga Tarian sakralTenun,kesemuanya itu membentuk satu kesatuan rangkaian, sebuah untaian tenunan nilai-nilai luhur yang terus hidup hingga hari ini.
Dieter Bartels dalam bukunya Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Jilid I tentang Kebudayaan, mengatakan bahwa Ritual Tenun digambarkan sebagai “Upacara Pembaharuan Dunia”. Masih menurutnya, bahwa Tari Tenun merupakan ritual yang menceritakan kembali kelahiran Pelauw.Tarian bukan hanya mempererat persatuan diantara mereka, tapi juga mengukuhkan hierarki yang ada.
Pulau Haruku, dengan adat, sejarah, dan pesona alamnya yang elok dan eksotis, juga situs-situs bersejarah peninggalan kolonial, adalah satu dari sedikit tempat di Nusantara dimana waktu, alam, dan manusia masih berdialog dalam bahasa yang sama – Bahasa Tradisi.
Datanglah ke Pelauw, di Minggu Pertama bulan Nopember 2025. Saksikanlah sendiri bagaimana manusia, laut, tanah dan leluhur menari dalam satu irama harmoni. Disanalah anda akan memahami makna sejati dari “Ritual Sakral Tenun dalam Lintasan Zaman” ***